Oleh : Agus Wariyanto
Semarang 26 Agustus 2024. Usaha mewujudkan cita-cita koperasi sebagai soko guru perekonomian nasional tak segampang membalik telapak tangan. Koperasi dihadang problem internal (profesionalisme dan kemandirian). Sementara itu, dari dimensi eksternal dihadapkan pada ekosistem koperasi yang belum penuh memihak. Itulah sebabnya, komitmen “metata ulang” (reinventing) pengembangan koperasi tangguh untuk kesejahteraan umat terus digaungkan. Dasar pemikirannya, Indonesia sebagai dengan warga bangsa multikultural dengan mayoritas skala usaha mikro dan kecil sebagai pelaku usaha, perlu optimalisasi keekonomian rakyat dengan berkoperasi.
Prinsipnya, koperasi harus kian kuat. Terbukti koperasi mampu menjadi salah satu penyelamat Indonesia ketika krisis moneter (1998) dan krisis ekonomi (2008). Koperasi dengan jumlah anggota tidak kurang 30 juta orang dengan 130.354 koperasi sungguh potensi yang cukup besar. Peran dan peningkatan kapasitas (capacity building) koperasi bersifat dinamis dipengaruhi oleh lingkungan strategis, baik demografi, geografi, sumber kekayaan alam, pendidikan, sosial, budaya, ekonomi dan politik. Rendahnya kompetensi dan profesionalitas pelaku usaha koperasi (pengurus, pengelola,pengawas) harus dibangun. Dengan prinsip kehati-hatian (prudensial) dalam koperasi tentu penerapan manajemen risiko menjadi urgen guna mewujudkan Good Corporate Government (GCG) dengan tata kelola yang mengindahkan: Transparansi, Akuntabilitas, Responsibilitas, Independensi, dan Berkeadilan (Fairness) sebagai tuntutan publik.
Kedepan, dalam membawa perkembangan koperasi dapat diibaratkan dalam sebuah mobil berpenumpang yang bergerak maju mencapai harapan yang dituju. Berarti ada SDM pengemudi yang fokus mengarah ke tujuan strategis di depan, serta ada warga penumpang yang mengurusi teknis operasional yang tertinggal di belakangnya. Mengemudikan kendaraan harusnya 70% orientasi melihat kedepan, 30% melihat ke spion kanan-kiri dan belakang (sejarah masa lalu).
Tekad kuat pemerintah menumbuhkan koperasi tak disangsikan. Wujud komitmen regulasi koperasi telah dikuatkan dengan Undang-Undang (UU) yang populer No 25/1992, kemudian dalam kurun sepuluh tahun diperbaharui dengan UU No 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian. Belakangan ini, koperasi memperoleh penguat dengan terbitnya UU Cipta Kerja (UUCK) No 11 Tahun 2020. Subtansi terkait koperasi dijabarkan dalam Bab V tentang Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan, Koperasi, Usaha, Mikro, Kecil dan Menengah. Selain itu, dikembangkan digitalisasi koperasi secara modern, termasuk pengelolaan koperasi dengan prinsip syariah. Harapannya, koperasi mempunyai kebaruan paradigma demi terwujudnya cita-cita demokrasi ekonomi.
Agilitas Koperasi
Agilitas (agility) adalah ketangkasan sebagai kompetensi kreatif yang diperlukan lebih bertahan dalam lingkungan bisnis yang turbulent agar tetap kompetitif. Kapabilitas dituntut meliputi: reaksi cepat (responsiveness),competency, flexibilits, dan speed (quickness) dalam jangka waktu tertentu. Berbagai tantangan kedepan senantiasa dihadapi dalam pengembangan
koperasi.
- Pertama, koperasi harus lincah (agile) dan memiliki daya ungkit (leverage) dalam penerapan demokrasi ekonomi.
- Kedua, koperasi wajib mempunyai roh berupa visi dan misi yang semakin mengikuti perkembangan era Revolusi Industri 4.0 berupa digitalisasi koperasi.
- Ketiga, koperasi harus mampu bertransformasi menjadi kelembagaan yang inovatif, efektif, produktif dan profesional.
Bertalian dengan agilitas koperasi ada tiga tantangan sekaligus yang harus dijawab secara nyata. Pertama, menyangkut persoalan responsivitas koperasi dalam mengantisipasi situasi dan kondisi dinamika lingkungan. Kedua, adanya kemampuan adaptabilitas koperasi secara fleksibel. Ketiga, masalah jejaring kemitraan kerja (networking) dalam ekosistem bisnis.
Dalam membangun agilitas koperasi di era teknologi, maka proses digitalisasi koperasi menjadi syarat keharusan (necessary condition). Sementara itu, pengembangan kapasitas SDM koperasi menjadi syarat kecukupan (sufficien condition) yang saling komplementer menunjang kinerja koperasi. Bagi koperasi, penting disikapi adanya lingkungan strategis domestik yang berubah, sehingga menuntut pembangunan diarahkan pada peningkatan peran masyarakat dan kemandirian.
Bukti empirik yang dapat dipetik disektor agribisnis, koperasi nasional pernah berjaya, seperti berkembangnya KUD (Koperasi Unit Desa), Koperasi Peternak Unggas (KPU), Koperasi Persusuan, dan sebagainya. Sehingga, benar-benar koperasi mampu sebagai soko guru perekonomian. Pada era dirupsi dan upaya memperjuangkan ekonomi kerakyatan, peran koperasi urgen direvitalisasi agar memiliki agilitas tinggi.
Pengarusutamaan
Pengarusutamaan (mainstreaming) koperasi merupakan amanat yang harus diintegrasikan dalam tahapan (milestone) proses pembangunan, sehingga semua elemen tergerak sinergis. Pengembangan koperasi yang inovatif akan mempercepat pemulihan ekonomi dan memperkuat landasan pembangunan berkelanjutan dan berkeadilan berdasarkan sistem ekonomi kerakyatan. Untuk mampu berdaya saing diperlukan sumber daya manusia (SDM) terdidik skilldriven. Koperasi berkerakyatan berarti menggunakan sumber daya yang dimiliki
rakyat dan menjadikan ekonomi serta jaringan kelembagaan ekonomi rakyat sebagai pelaku utama pembangunan. Berkelanjutan berarti menggunakan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Inovasi (IPTEKIN) ramah lingkungan yang berorientasi pada pengembangan SDM, serta pendayagunaan sumberdaya local spesifik, dan berkembangnya pelaku ekonomi lokal pada “akar rumput”.
Krisis kader yang melanda dunia perkoperasian kita telah merambah dari istansi/lembaga pemerintah yang menangani koperasi hingga usaha koperasi. Kaderisasi membentuk karakter merupakan proses yang wajib dilakukan koperasi guna menjaga eksistensi dan melanggengkan perjuangan menjadi sokoguru perekonomian. Nampaknya, koperasi kita sedang “sakit”, dan tak mengherankan banyak yang gulung tikar lantaran tata kelola yang tidak kompeten. Kinerja koperasi yang didukung adanya tolok ukur 3 (tiga) sehat, yakni:
- Sehat Organisasi;
- Sehat Mental; dan
- Sehat Usaha ternyata masih relevan.
Kerangka berpikir yang responsif dalam pengembangan SDM koperasi lebih difokuskan pada integritas, etika, militansi, kapasitas penguasaan teknologi, kewirausahaan sosial, serta kerja dalam team work. Harus diakui bahwa kelemahan kita hari ini adalah karena kita tidak punya “budaya organisasi” yaitu budaya yang merekatkan kita satu-sama lain untuk mau bekerja bersama-sama (saiyeg saekapraya) (Dwijowijoto, 2003).
Sukses pembangunan koperasi paling tidak 30% ditentukan faktor teknis tata kelola koperasi, sedangkan 70% dipengaruhi kapasitas kelembagaan dan SDM. Disinilah pentingnya literasi dan pendidikan perkoperasian untuk mencetak kader SDM unggul. Tentu, ada sebuah keterpanggilan, kepedulian, dan komitmen. Budaya organisasi dan nilai-nilai koperasi perlu terus digali dan diselaraskan perubahan zaman. Misal, di era Presiden Soekarno kita punya budaya kemandirian, kita punya budaya pembangunan (era Presiden Soeharto), adanya budaya reformasi (era Presiden Habibie), budaya gotong royong (era Presiden Megawati), dan seterusnya.
Tegasnya, reorientasi dan revitalisasi paradigma pembangunan koperasi guna membangun “budaya organisasi koperasi” yang didukung pengetahuan dan pengalaman amatlah perlu. Satu-satunya peluang yang kita punya adalah “waktu”; dan waktu itu ada di masa depan. Satu-satunya sumber daya yang tidak dapat diperbaharui adalah waktu. Sekali lewat, ia tidak akan kembali. Tugas kita adalah menyikapi masa depan dengan optimisme membangun koperasi. Optimisme akan bermakna jika kita mempunyai strategi untuk memasukinya. Strategi masa depan guna membangun koperasi yang bermartabat bagi umat yakni reinventing pembangunan koperasi modern, maju, mandiri dan berkelanjutan