Oleh : Khafid Sirotudin
Aomori adalah ibukota Prefektur (provinsi) Aomori, satu dari 47 prefektur di Jepang. Sebuah kota pertanian nan sejuk didukung infrastruktur dan moda transportasi udara, laut, darat yang sangat bagus. Aomori memiliki 20.000-an lebih hektar tanaman apel. Wilayah ini penghasil utama ‘apel fuji’ dengan 8 varietas unggulan. Sejauh mata memandang, yang nampak seakan hanya tanaman apel di sisi kanan kiri jalan.
Budidaya apel di Aomori sudah melintasi jaman, hampir dua abad lamanya. Bukti empiris ‘sanad nasab dan sanad ilmu’ budidaya apel fuji ada pada ribuan jenis tanaman apel yang tumbuh dan dipelihara hingga sekarang, sebagai kebun litbang. Lokasinya berada di sekitar laboratorium apel yang berdiri di tengah perkebunan kota ini. Dari label yang disematkan pada setiap pohon, kami menjadi tahu ada tanaman apel yang berusia 136 tahun, 100 tahun hingga puluhan tahun. Paling muda usianya 20-an tahun. Beraneka ragam tanaman apel di situ menunjukkan pula jenis, varietas dan perkembangan teknologi budidaya tanaman apel dari masa ke masa.
Dari penuturan seorang Profesor “pakar apel” yang menggawangi laboratorium, —beliau baru 45 tahun berkhidmat disitu—, kami menjadi mafhum mengapa apel fuji Jepang menjadi produk buah segar yang termahal, manakala kita bandingkan dengan harga apel produksi Amerika, Australia, New Zealand apalagi apel fuji China. Rata-rata produktivitas apel Aomori berkisar 200-250 kg per pohon.
Fasilitasi pemerintah Jepang sangat baik untuk para petaninya. Mulai pengadaan bibit unggul yang dihasilkan oleh para pakar ahli apel dan litbang Departemen Pertanian, fasilitas kredit pertanian yang mudah dan murah, support informasi dan promosi pemasaran, birokrasi yang simpel dan elegan, juga dukungan Wakil Rakyat (DPR) yang pro petani. Setidaknya gambaran itu kami rasakan (9 orang) satu rombongan ‘bakul buah segar Indonesia’ pada saat welcome dinner atau jamuan makan malam dengan Deputi PM, Menteri Pertanian, Anggota DPR, Asosiasi Eksportir Produk Horti serta Asosiasi Petani Apel Jepang, yang menjamu kami bergantian setiap malam selama di Aomori.
Sayapun tersanjung sebagai seorang muslim, serasa diistimewakan dengan makanan dan minuman yang halalan thayyiban. Tidak saja saat jamuan makan, namun sejak sajian menu di pesawat JAL yang membawa kami terbang dari Jakarta menuju Jepang. Sebuah keadaban yang luar biasa dalam menghormati tamu yang diundang.
Kami juga melihat secara kasat mata kehidupan petani apel Aomori yang makmur sejahtera, dengan kultur bertani yang tangguh, mandiri, disiplin, konsisten dan fokus menerapkan teknologi budidaya pertanian organik. Pemuliaan tanaman sejak sebelum berbunga, ketika berbunga, ‘pentil’ (buah muda) sampai dengan matang layak petik, sangat detail. Bahkan kami sempat takjub saat melihat pemanfaatan ‘karet gelang’ sekedar untuk memberi jarak antar buah apel dalam ‘satu dompol’ agar tidak bersentuhan pun masih diaplikasikan. Teknologi ‘storage’ penyimpanan pasca panen dengan ‘atmosphere control system’ menjamin apel fuji Aomori tetap segar seperti tatkala dipetik, meski telah 9-12 bulan berada dalam gudang penyimpanan (cold storage). Tanpa pengawet, tanpa kimia sintetis, tanpa formalin atau dilapisi lilin apapun. Benar-benar produk buah segar organik, aman dan sehat sesuai standar ‘Good Agriculture Practices’. Usia tanaman apel yang dibudidayakan petani di sana rata-rata diatas 20 tahun.
Jasa Penyerbukan Lebah
Banyak hal yang menarik perhatian kami ketika sepekan melakukan farm trip & business gathering di Aomori, atas undangan dan fasilitasi dari Asosiasi Produsen Apel, Kementerian Pertanian dan Atase Perdagangan Kedubes Jepang di Indonesia.
Ada hamparan semacam karpet ‘aluminium foil’ selebar 1-2 meter untuk memantulkan sinar matahari agar warna kulit buah apel merata. Kamipun melihat “semacam almari” berbahan kayu dan bambu di setiap 150-200 meter di sepanjang kebun. Terdapat 4-5 rak di setiap almari setinggi 1,75-an meter. Masing-masing rak berisi potongan- potongan bambu kecil seukuran jari tangan dengan panjang sekitar 40-50 cm. Semacam ‘pring tulup’, bambu berdiameter kecil yang dijadikan peralatan “tulupan” tatkala kami masih anak-anak di desa. Potongan bambu-bambu tersebut dibiarkan bertumpukan di setiap rak, namun terkesan rapi dilihat mata.
Rasa penasaran mendorong kami bertanya pada Ketua Asosiasi Petani Apel dan Profesor yang menemani kami ‘jajah desa melankori alias tadabur alam’ perkebunan apel di Aomori.
Untuk apa bambu-bambu kecil itu diletakkan di kebun?’ tanya saya.
“Nanti bapak akan tahu sendiri pada waktunya” jawab Profesor sambil tersenyum.
Di salah satu ruangan gedung laboratorium apel Aomori, kami diperlihatkan semua jenis apel dari seluruh dunia. Termasuk ‘apel manalagi’ asal Malang Indonesia. Bukan virtual tapi nyata. Setiap sampel apel dimasukkan ke dalam “kotak kaca” kedap udara, dilabeli nama varietas/jenis serta asal daerah penghasil dan negaranya.
Pada sesi dialog, kamipun menanyakan kembali ke Profesor: ‘Untuk apa potongan bambu-bambu “pring tulup” diletakkan di kebun apel?’
Dengan tersenyum beliau menjawab dengan pelan:
“Di negara tropis seperti Indonesia, matahari hadir sepanjang tahun, meskipun musim penghujan. Tapi di negara kami, matahari tidak muncul sepanjang tahun.”
“Bapak puasa hanya sebulan setiap tahun, tapi kami dan tanaman apel di Jepang selalu berpuasa selama 3 bulan pada saat musim dingin tiba”, tuturnya seakan menyentil saya sebagai seorang muslim satu-satunya dalam rombongan.
‘Terus apa hubungannya Prof?’ tanya saya tersenyum penuh tanda tanya.
“Tahukah bapak bahwa penyerbukan buah apel 90% dilakukan atas jasa baik lebah?” lanjutnya setengah bertanya.
Beliau menjelaskan lebih lanjut.
“Pada saat musim dingin, semua dedaunan sirna karena rontok dikala musim gugur sebelumnya. Lebahpun akan mati semua. Lantas ketika musim semi tiba dan tanaman apel berbunga, siapa yang akan membantu menyerbukkannya. Angin dan manusia tidak akan pernah mampu melakukan?”
“Maka sebelum musim dingin tiba, kami sediakan potongan bambu-bambu kecil itu sebagai tempat yang aman bagi lebah bertelur, menetas menjadi larva lalu menjadi kepompong. Dan ketika musim semi tiba, ribuan lebah akan lahir di sana.” kata Profesor dengan raut muka penuh penghayatan.
“Pada saat tanaman apel mulai berbunga, ribuan bahkan jutaan lebah yang sudah dewasa akan mencari nektar, resin dan polen sambil membantu penyerbukan buah pada ratusan ribu tanaman apel di seluruh Aomori” jawabnya dengan tegas, khas seorang ilmuwan dan praktisi budidaya apel.
Subhanallah, masya Allah. Jawaban Profesor benar-benar menampar saya sebagai orang Indonesia dan seorang Muslim.
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah: ‘buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia’
“Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yg telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang- orang yang mau berpikir”.
(Qs An-Nahl [Lebah] : 68-69).