Oleh : Khafid Sirotudin
Bunyi ngiiing….ngiiing mirip suara “sawangan” yang diletakkan di sela-sela ekor merpati balap jantan adalah suara khas yang keluar dari “mesin uap” penjual putu keliling. Sore ini saya membeli Lima kue putu dari penjaja keliling seharga Rp 5.000. Murah, manfaat, “maregi” (mengenyangkan) jajanan seharga Seribu Rupaih sebuah. Cocok sebagai teman minum kopi hitam tanpa gula dan menambah rasa enak sedotan sigaret kretek.
Jika “sawangan” di atas ketel dilepas dan suara ngiing…ngiing berhenti, artinya si penjual sedang melayani konsumen. Sebuah tanda suara yang unik, menarik dan ‘local genius’ dari penjaja Putu keliling. Berbeda dengan beberapa penjual roti dan kue keliling yang kami temui saat ini. Mereka biasa membunyikan rekaman suara atau musik tertentu dari seperangkat audio yang terpasang di gerobak atau kendaraan.
Saya telah menikmati kue putu sejak usia belia (MI/SD), 45 tahun silam. Harap maklum, pada “jaman semonow” (dahulu, era 70-80an) masih jarang penjaja jajanan makanan minuman (mamin) yang keliling kampung atau komplek perumahan. Paling sering ditemui: penjual putu, wedang ronde, mie tek-tek dan bakso. Sangat jauh berbeda dengan era sekarang yang menjajakan aneka mamin melalui on-line: lintas kampung, antar kecamatan, antar kota antar provinsi (AKAP) seperti trayek bus saja..hhh.
Selain Jawa Tengah, saya pernah menjumpai dan membeli putu keliling di daerah Jawa Barat, Jawa Timur, DIY hingga Gorontalo. Mirip martabak telur yang pernah saya jumpai di berbagai daerah dan wilayah nusantara yang berasal dari Lebaksiu Tegal. Saya tidak cukup literasi sahih tentang “asbabul wurud”: asal muasal nama, darimana dan siapa penemu putu, salah satu kudapan klangenan saya sekeluarga. Meski ada juga yang mengatakan PUTU akronim dari Pencari Uang Tenaga Uap…he..ha..hi.
Penjual kue putu keliling masih sangat mempertahankan budaya pangan tradisional yang sehat. Terbuat dari tepung beras (agak kasar) yang dipadukan dengan isian gula Aren/Jawa dan ditaburi (topping) parutan kelapa muda. Sekarang ada sebagian penjual putu yang memberikan warna hijau pada adonan, berasal dari sari warna daun pandan wangi. Tanpa pengawet, perasa, pewarna, pemanis dan perisai sintetis.
Perubahan penjual kue putu keliling lebih banyak pada prasarana dan sarana penjualan. Jika dahulu kala awalnya dipikul, kemudian berubah menjadi gerobak dorong. Jaman now digunakan sepeda motor yang dimodifikasi bagian jok belakang untuk menempatkan perlengkapan dan peralatan kerja. Nomor HP/WA pun disematkan pada satu sisi yang mudah dilihat pembeli. Siapa tahu suatu saat ada warga yang membutuhkan kue putu buat sedekah Jumat Berkah atau sajian RT/RW-nan.
Sebagai salah satu jamaah Youtubeyah, saya coba googling dan menemukan satu kedai putu di suatu ibukota kabupaten di Jateng yang menjual putu “manggon” (tidak keliling) beserta aneka jajanan tradisional lain sebagai pelengkap minuman kopi atau teh hangat. Melihat link itu saya bahagia dan merasa senang. Setidaknya mengurangi kegalauan pribadi atas hadirnya berbagai kedai, outlet dan toko roti berbahan baku tepung terigu bergluten tinggi yang seratus persen bahan baku gandumnya impor.
Kehadiran penjual putu keliling dan kedai putu minimal telah berbuat nyata mendukung program ketahanan dan kemandirian pangan. Sebab semua bahan bakunya berasal dari dalam negeri. Menurut penuturan beberapa penjual putu yang pernah saya temui, untuk menghasilkan tepung beras yang pulen sebagai bahan baku putu, tidak dapat diperoleh dengan menggunakan beras impor hasil “refresh” beras yang telah setahun lebih berada di gudang negara asalnya. “Medal penguke tur raose benten (keluar aroma penguk dan rasanya berbeda)”, kata penjual putu tadi sore.
Mari larisi jajanan tradisional yang ada. Meski belum bisa “nyugihi” (membuat kaya) setidaknya bisa “nguripi” (menghidupi) puluhan, ratusan bahkan ribuan pelaku ekonomi skala Ultra Mikro, Mikro dan Kecil yang mencari rejeki di sekitar kita. Para Pejuang Receh Rupiah semacam penjual putu keliling setidaknya telah membantu Pemerintah mengurangi angka pengangguran dan setengah pengangguran (under-employment) di tengah kondisi ekonomi global dan nasional yang sedang tidak baik-baik saja. Wallahu’alam
#UMKMBerdaya
Tegalmulyo, 24 Juni 2025