Oleh : Khafid Sirotudin
Kunjungan muhibah pamungkas kami adalah Joglo Klengkeng milik Sutrisno, Wakil Ketua MPM (Majelis Pemberdayaan Masyarakat) PD Muhammadiyah Kabupaten Ponorogo. Lokasinya di tengah kampung Ronowijayan, Kertosari, kecamatan Babadan. Menurut “aji pangiro-ngiro” saya, penamaan Joglo Klengkeng dikarenakan bangunan berbentuk Joglo ukuran 12×12 m2 itu berasal dari keuntungan hasil berdagang bibit kelengkeng.
Ketua MPM Bambang Triono, Sutrisno, beberapa pengurus MPM dan aktivis JATAM (Jamaah Tani Muhammadiyah) Ponorogo turut menyambut kedatangan kami serombongan di Joglo Klengkeng. Wellcome drink berupa teh panas empon-empon “sak kebon” (satu kebun) dan beberapa kudapan rebus dan kukus telah tersedia di atas meja. Ada jagung manis, kacang tanah, pisang kepok dan uwi legi (Jawa: uwi manis).
wi adalah sejenis umbi-umbian pangan yang berbentuk seperti umbi pada umumnya. Uwi yang memiliki nama latin Dioscorea alata L ini, banyak ditemukan di daerah datar Kabupaten Malang dan daerah bukit Kabupaten Tuban Jawa Timur. Varian Uwi Legi memiliki persebaran paling luas dari daerah datar hingga berbukit (50 hingga 500 m dpl). Ubi Kelapa, nama lain dari uwi dalam bahasa Indonesia.
Uwi merupakan salah satu bahan pangan tertua di dunia. Berbagai penelitian tentang uwi mengungkap manfaat bagi kesehatan manusia. Diantaranya sebagai pengganti nasi bagi penderita Diabetes Mellitus (Kencing Manis), mengurangi resiko terkena kanker payudara dan kardiovaskular, serta memelihara kesehatan usus besar. Selain rendah karbohidrat dan tinggi serat, Uwi Ungu memiliki kandungan anti oksidan yang lebih tinggi daripada uwi putih.
Sutrisno sempat memperlihatkan sedompol Uwi Legi sebesar lengan tangan orang dewasa yang baru diambil dari kebun. Sekilas bentuknya seperti ketela pohon (Jawa : pohung) yang barusan diangkat dari dalam tanah. Orang awam seperti saya pasti tidak bisa membedakan mana yang Uwi Legi, Uwi Ungu atau Uwi Biasa.
Ingin Kaya, Hiduplah di Desa
Sutrisno, Wakil Ketua MPM PDM, mengungkapkan pengalaman berhijrah dari seorang PNS BKKBN yang mengajukan pensiun dini serta beralih profesi sebagai petani pembibit aneka tanaman dan hidup di kampung (desa). Dia tunjukkan sebatang pohon kelengkeng Ping-Pong yang ada di pekarangan rumahnya sebagai modal awal satu-satunya ketika merintis usaha penjualan bibit tanaman yang menempati lahan seluas 100-an meter persegi.
Dari sebatang tanaman kelengkeng tersebut, dia bisa melunasi hutangnya di bank sebesar Rp 30 juta pada saat itu, 15 tahun lalu. Seiring berkembangnya usaha pembibitan dan penjualan bibit aneka jenis tanaman buah-buahan, maka dia bisa membeli lahan di kanan kiri rumahnya hingga ribuan meter persegi. Selain rumah induk keluarga dan Joglo Klengkeng, sebagian lahan dipakai untuk mendisplay beragam bibit tanaman. Saya melihat aneka bibit tanaman kurma, nangka, mangga, kelapa kopyor dan kelapa genjah, kelengkeng, durian dan sebagainya.
Di sebelah kiri bangunan Joglo, ada beberapa kotak kolam yang sedang disiapkan untuk pembesaran ikan belut dan ikan gabus, serta sisa kandang budidaya ayam Joper (Jowo Super). Ada pernyataan menarik yang disampaikan Sutrisno saat dialog santai, sesudah kami shalat berjamaah jamak qashar Dhuhur dan Ashar di mushola lantai 2 depan bangunan Joglo. “Jika ingin kaya, maka hiduplah di desa”, ungkapnya. Kemudian beliau menjelaskan panjang lebar atas laku sosial ekonomi yang dijalani ketika hidup di pedesaan.
idup di desa, asal “gelem obah lan kemrringet, mesti biso mamah lan ngliwet (mau bergerak dan berkeringat, pasti dapat makan dan menanak nasi)”. Aneka sayuran tinggal memetik sendiri di pekarangan, lauk ikan tinggal ambil di kolam, pengin sambal tinggal memetik cabe di halaman, dan ketika pengin nasi tinggal bawa gabah panenan ke “selepan” (penggilingan padi). Untuk memenuhi kebutuhan pangan sekeluarga, tidak perlu mengeluarkan uang untuk membelinya. Produk beragam hasil budidaya pertanian, peternakan dan perikanan dapat dijual langsung kepada konsumen dengan memanfaatkan teknologi digital. Atau bersinergi dengan jaringan toko Suryamart seperti di Pnorogo.
Apa yang kami peroleh dari belajar langsung dengan berbagai komponen di PDM Ponorogo selama 2 hari, semakin menguatkan postulat yang pernah saya lontarkan ke teman-teman UMKM Jateng. Bahwa Mandiri itu Sinergi. Sinergi otentik antar majelis, lembaga, AUM, BUMM, PTMA dan berbagai komponen di persyarikatan. Sinergi segenap komponen persyarikatan dengan stakeholders (pemangku kebijakan) dan semua komponen anak bangsa lainnya.
Sebelum pulang kami sempatkan membeli beras organik dan semi organik hasil budidaya teman-teman JATAM sebagai oleh-oleh. Beras organik Rojolele dijual Rp 22.000/kg, organik non Rojolele Rp 20.000/kg dan semi organik dijual Rp 70.000 per 5 kilogram. Kepareng pamit, maturnuwun, terimakasih atas beragam ilmu dan laku sosial ekonomi dari teman-teman PDM Ponorogo. Salam berkemajuan.
Pagersari, 28 Juli 2024