Oleh: Khafid Sirotudin
Selasa sore, 17 September 2024, saya bertemu dengan teman lama di sebuah kios buah segar di pinggir jalan dekat Sungai Damar, Weleri. “Kadingaren mas kaji, nembe tindak pundi?” (Tumben Mas Haji, baru pergi dari mana?), tanyanya.
“Nembe tumbas bensin, mampir tumbas buah ngge segeran” (Baru beli bensin, mampir beli buah segar), jawab saya sambil memilih jeruk keprok Jember.
“La sampeyan seko ngendi, Mas?” (Dari mana, Mas?), tanya saya sambil bersalaman dengannya.
“Saking gudang nembe setor mbakau” (Baru saja setor tembakau dari gudang), jawabnya.
“Mbakau saiki regane apik, kan?” (Harga tembakau sekarang bagus, kan?), tanya saya lagi.
“Alhamdulillah, Mas Kaji, tekan 74 ewu” (Alhamdulillah, harganya mencapai Rp 74 ribu per kg), jawabnya dengan gembira.
Dalam dua musim tanam terakhir (2023 dan 2024), harga tembakau Weleri, Kendal, sedang bagus. Untuk jenis samparan (dua daun paling bawah), yang merupakan kualitas daun terendah, harganya berkisar antara Rp 40-45 ribu per kg. Seperti yang diketahui, pemetikan daun tembakau dilakukan bertahap dari bawah ke atas dengan interval waktu 2-3 hari sekali. Dalam satu musim tanam, satu batang tembakau bisa dipetik 7-9 kali. Harga tertinggi biasanya terjadi pada pemetikan ketiga hingga keenam.
Dulu, hampir semua perusahaan rokok besar seperti Sampoerna, Djarum, dan Gudang Garam memiliki gudang tembakau di Weleri. Perusahaan yang lebih kecil seperti Sukun, Djambu Bol, dan lainnya juga mendirikan gudang tembakau di Weleri, Kangkung, dan Ringinarum. Namun, sejak WHO menginisiasi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) pada 2005 dengan kampanye besar-besaran “Gerakan Anti (Haram) Merokok”, banyak gudang tembakau perusahaan besar yang tutup dan tidak lagi melayani pembelian tembakau dari petani Weleri dan sekitarnya.
Perusahaan Sampoerna menjadi yang pertama menutup gudangnya di Weleri. Walaupun di Cepiring, Kendal, dan Tulis, Batang, masih ada Industri Padat Karya MPS (Mitra Produksi Sigaret) yang memproduksi Sigaret Kretek Tangan (SKT) dan mempekerjakan lebih dari dua ribu pekerja hingga saat ini. Meski Indonesia belum meratifikasi FCTC karena dianggap tidak mengakomodir kepentingan ekonomi dan sosial budaya Indonesia, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan yang membatasi produksi dan distribusi tembakau.
Industri rokok berbahan baku tembakau di Indonesia memiliki sejarah panjang dengan berbagai jenis rokok yang berkembang seiring zaman: SKT, SKM (Sigaret Kretek Mesin), dan SPM (Sigaret Putih Mesin). Setiap jenis rokok memiliki karakteristik unik dalam bahan baku, proses produksi, dan pengalaman merokok yang ditawarkan. Ada lima daerah penghasil tembakau terkenal di Indonesia: Temanggung (Jateng), Deli (Sumut), Lombok (NTB), Madura, dan Jember (Jatim).
Sejarah mencatat rokok kretek telah dikenal sejak abad ke-19. Haji Jamhari, seorang warga Kudus pada tahun 1880, pertama kali mencampurkan cengkih dengan tembakau untuk meredakan sesak nafas. Campuran ini memberikan sensasi lega saat dihisap, dan sejak itu, rokok kretek menjadi populer. Rokok kretek awalnya dibungkus dengan kulit jagung dan dikenal sebagai Rokok Klobot atau Kretek Klobot, yang menghasilkan suara “keretek…keretek” saat dinyalakan karena adanya cengkih.
Rokok kretek merupakan rokok asli Indonesia dengan aroma khas yang sering dianggap lebih aman karena bahan-bahan alami. Cengkeh (Syzygium aromaticum), sebagai salah satu bahan utamanya, diketahui memiliki kandungan zat yang bermanfaat sebagai anti-jamur, antioksidan, antivirus, anti-karsinogenik, anti-inflamasi, serta meningkatkan kesuburan dan mencegah penyakit kronis.
Meskipun belum ada undang-undang khusus yang mengatur tembakau dan produk turunannya, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 tahun 2024, PP No. 109 tahun 2012, dan beberapa Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mengatur kawasan industri hasil tembakau dan aglomerasi pabrik. Tujuannya adalah untuk memusatkan pabrik dalam satu kawasan untuk meningkatkan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan terhadap industri kecil dan menengah (IKM) serta UMKM.
Malam itu, saya menghubungi Hardi, saudara kami yang menanam tembakau di lahan “bengkok” di Dukuh Sendang Nokerto, Desa Sendang Dawung, Kecamatan Kangkung. Ia baru saja menyelesaikan pemetikan kesembilan di rumahnya. Dari lahan seluas “Sebahu plus Seiring” (sekitar 1 hektar), Hardi menghasilkan 25 kuintal (2,5 ton) tembakau rajangan kering dengan pendapatan sekitar Rp 190 juta setelah dikurangi biaya produksi sebesar Rp 20 juta.
“Alhamdulillah Mas, regane mbakau tahun wingi kalih sakniki sae” (Alhamdulillah, harga tembakau tahun 2023 dan 2024 bagus), katanya di ujung telepon.
“Nyuwun pangestu anak wedok bontot wulan ngajeng badhe wisuda profesi perawat” (Minta doanya, anak perempuan bungsu bulan depan akan wisuda profesi perawat), tambahnya.
“Ya mas, mugo-mugo paringi lancar sekabehane, Amin” (Semoga semuanya dilancarkan), jawab saya.
Pertanian tembakau yang dijalani Hardi memberikan penghasilan yang layak meski menghadapi risiko besar seperti gagal panen, harga jatuh saat panen raya, dan tantangan lain. Kisahnya membuktikan bahwa dengan kerja keras, petani bisa sukses meski dengan lahan terbatas.
Pagersari, Rabu 18 September 2024