Oleh: Khafid Sirotudin
Dalam bahasa Jawa, ‘Rondho’ berarti janda. Sedangkan ‘Royal’, istilah yang menggambarkan sesuatu yang melampaui batas dari biasanya atau umumnya. Makna lain royal, mengacu pada sikap dan perilaku yang menunjukkan kepedulian dan kebaikan. Misalnya, seseorang yang sering memberikan bantuan, hadiah, perhatian, makanan, barang atau bentuk uluran tangan lain kepada pasangan, keluarga, tetangga dan sesama. Ada juga sebagian translator bahasa yang mengartikan royal (Basa Jawa) dengan ‘mewah’ (Bahasa Indonesia).
Tulisan saya ini tidak akan membahas besaran angka janda di Indonesia tahun 2023 dan 2024. Dimana kasus perceraian tertinggi dijuarai Tiga Provinsi di Jawa, yaitu Jawa Barat (2023/91.146; 2024/88.985), Jawa Timur (79.248/79.293) dan Jawa Tengah (68.133/ 64.937). Juga tidak sedang ingin membahas implikasi sosial ekonomi yang bakalan terjadi dengan meningkatnya janda (dan duda) baru bagi menurunnya pertumbuhan ekonomi dan kerawanan sosial bagi suatu provinsi. Biarlah menjadi tugas dan kewenangan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN RI.
“Rondho Royal” adalah nama makanan (kudapan, gorengan) yang terbuat dari tape singkong. Masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta sangat familier dengan makanan unik ini dan biasa tersajikan di warung kopi atau angkringan. Orang Jepara menamai Monyos, meski di berbagai daerah se Jateng (35 kabupaten/kota) menamai Rondho Royal.
Sejauh ini saya belum menemukan literasi atau manuskrip jejak sejarah terkait makanan daerah ini. Kapan pertama kali hadir, di daerah mana dan siapa penemunya. Yang jelas dan pasti, sejak saya sekolah di TK ABA dan Madrasah Diniyah/Sekolah Dasar Muhammadiyah, ibu kami (86 tahun) sering menjadikan Rondho Royal sebagai pelengkap minum teh pagi atau sore hari. Rasanya lebih enak jika yang dijadikan bahan baku “Tape Mentega”. Yaitu tape singkong yang “mempur” (pulen), warnanya kuning dan rasanya sangat manis. Sungguh nikmat dijadikan sarapan atau kudapan pendamping kopi pahit atau teh sepet (tanpa gula).
Singkong (Manihot esculenta, Manihot utilissima) dikenal dengan ketela pohon atau ubi kayu telah lama menjadi bahan makanan pokok masyarakat Jawa. Selain beras, masyarakat Jawa terbiasa mengkonsumsi jagung, pisang, sukun, kentang hitam dan ubi-ubian lain (talas, uwi, ganyong, mbili, dll) sebagai makanan pokok. Singkong sebagai pangan lokal, dengan kreatifitas dan kearifan masyarakat dapat diolah menjadi “getuk, tiwul, lemet, sawut” dan sebagainya.
Sejak Politik Beras dan Beras Politik dijalankan Orde Baru (istilah Prof. Purbayu Budi Santoso, BP Undip, 2010), kearifan berbagai pangan lokal bergeser dan digantikan beras. Budaya pangan masyarakat berubah total. Hingga masyarakat awam yang sudah sarapan roti tawar dua sisir, semangkok bubur sagu, satu ‘pincuk’ gethuk, tiga buah pisang rebus dan sepiring tiwul pun ketika ditanya : “apakah sudah sarapan?”, jawabnya selalu belum sarapan. Karena menganggap bahwa sarapan itu makan nasi (beras).
Tidak hanya di Jawa, kenyataan ini juga kami jumpai di Papua, Maluku, NTT, Sulawesi Utara, Gorontalo, Kalimantan hingga Aceh di ujung Barat Indonesia. Padahal saya masih sangat ingat tatkala belajar di SD/SMP/SMA (1975-1987), guru kami selalu mengajarkan bahwa makanan pokok orang Maluku dan Papua itu sagu, makanan khas orang Gorontalo itu jagung yang dibuat “Binte Biluhuta” (sup jagung, milu siram), dan seterusnya. Kita tahu bahwa semua pangan lokal itu berbasis sumberdaya alam setempat sebagai anugerah Allah Tuhan yang Maha Bijaksana, Esa, Adil dan Teliti.
Dengan politik beras semua rakyat dipaksa merubah budaya pangan nasional berbasis beras. Sementara kita tahu sebagian wilayah Indonesia tidak menghasilkan beras. Hanya beberapa daerah dan wilayah yang bisa menghasilkan surplus beras. Sebagai negara yang memiliki biodiversitas tanaman pangan terbesar di dunia, seharusnya kita mau belajar dengan China. China dan Indonesia merupakan 2 negara berpenduduk terbesar dunia yang sejatinya memiliki ketahanan, kemandirian dan kedaulatan pangan terbaik berbasis sumberdaya alam lokal (local genius).
Rakyat yang tinggal di wilayah China Utara berbeda makanan pokok dengan rakyat yang tinggal di Selatan. Di warung, kedai atau resto “Chinese food” kita mengenal masakan ‘Hainan Chicken Rice’ yang berbahan baku beras (nasi) dan berlauk daging ayam. Ada juga Bakpao, Bakmi yang berbahan baku terigu (gandum dan ubi-ubian). Aneka makanan China, Jawa dan Indonesia banyak beririsan dalam perspektif budaya pangan berbasis sumberdaya pangan lokal.
Pagi ini, kami menikmati sarapan 2 buah Rondho Royal, secangkir kopi Arabica Tretep Temanggung tanpa gula dan 1 sendok makan madu klanceng. Tape singkong sebagai makanan hasil fermentasi (peragian) dikenal memiliki beberapa khasiat, diantaranya manfaat bagi kesehatan pencernaan, meningkatkan imunitas tubuh dan menjadi sumber energi (karbohidrat). Selain itu tape singkong mengandung probiotik yang baik untuk menjaga kesehatan usus dan mencegah sembelit, membantu mencegah anemia serta menurunkan kadar kolesterol. Saya syukuri diberi nikmat sehat meski sarapannya Rondho Royal dan menyelesaikan tulisan ini sambil mendengarkan lagu dangdut koplo “Sido Rondho” (Menjadi Janda).
Allahu’alam
Pagersari, 23 April 2025
*) Praktisi agribisnis dan pegiat pangan lokal. Ketua LP-UMKM PWM Jawa Tengah
Red. Fordem.id