Khafid Sirotudin
Kuncung, sebutan untuk teman saya dari tetangga desa, pagi itu datang ke rumah. Dia seorang petani, mewarisi profesi orangtuanya sebagai petani padi. Luas lahannya ”satu bahu” (dua pertiga hektar). Sebidang sawah irigasi teknis warisan orang tuanya yang selama ini menjadi sumber pendapatan keluarga. Setiap dua tahun Kuncung bisa menanam padi 5 kali, dengan nilai tebasan rata-rata Rp 30-jutaan sekali panen. Setiap 2 tahun (24 bulan), mendapatkan hasil 150 juta-an Rupiah.
Jika biaya pengolahan tanah, bibit, pupuk, pestisida dan tenaga kerja membutuhkan Rp 10 juta sekali tanam, Kuncung mendapat penghasilan bersih Rp 20 juta sekali panen, atau Rp 100 juta selama 2 tahun. Setara dengan Rp 4,167 juta per bulan. Penghasilan tersebut dengan syarat kondisi iklim dan cuacanya normal, tidak kebanjiran, tidak dirusak hama tikus atau terpapar hama lain yang dapat mengakibatkan gagal panen. Sebuah penghasilan yang tidak begitu besar apabila dibandingkan dengan besarnya nilai investasi (harga) sawah, biaya tanam hingga resiko gagal panen, serta kebutuhan hidup sekeluarga (5 orang) : suami, istri dan 3 orang anak yang masih sekolah di SMK, SMA dan SMP.
Bersyukur 2 anaknya bisa sekolah di SMK dan SMA Negeri yang bebas SPP. Sementara satu orang anaknya masih sekolah di SMP Swasta, harus membayar SPP Rp 250 ribu per bulan. Belum termasuk kebutuhan makan minum, uang jajan, BBM, biaya sosial dan biaya pulsa atau paket data HP sekeluarga. Hidup di zaman now atau berada di abad informasi memang serba merepotkan. Mau mengekang anak tanpa HP juga sulit, apalagi saat terjadi pandemi Covid 2 tahun. Proses belajar mengajar banyak menggunakan daring atau zoom meeting. Sehingga anak sekolah dan guru “dipaksa” membiasakan diri dengan perangkat komunikasi Android, Iphone dan sejenisnya.
”Assalamualaikum mas kaji”, sapanya ramah.
“Wa’alaikum salam warahmatullah”, jawab saya sambil mempersilahkan duduk di kursi teras rumah.
“Sehat Cung, meh ngombe kopi opo teh (mau minum kopi apa teh)”, tanya saya.
”Manut mas kaji, sak pawehe (terserah mau dibuatkan minuman apa)”, jawabnya.
Sayapun masuk ke dalam rumah, lalu keluar menyajikan 2 gelas teh hangat diatas meja.
“Kadingaren isuk-isuk wis moro omah, ono kabar opo (Pagi-pagi sudah datang ke rumah, ada kabar apa)”, tanya saya sambil mempersilahkan minum teh dan mencicipi jajanan seadanya.
”Maturnuwun mas, pun ping kalih mriki kecele. Milo kulo gasiki ajrih njenengan tindak luar kota (Terimakasih, sudah 2 kali kesini tidak ketemu. Maka saya datang pagi-pagi, takut tidak ketemu lagi karena pergi ke luar kota)”, jawabnya sambil menyalakan sebatang rokok kretek “tingwe” (lintingan dewe/buatan sendiri) yang dibawanya. Aroma tembakau campuran Weleri dan Temanggung terhirup dari asap yang mengepul. Sayapun nyeruput teh tawar hangat dan ikut menyalakan rokok kretek kesukaan.
”Maaf mas kaji, saya mau minta tolong. Saya mau ‘ngoyotke’ (menyewakan sawah) setengah bahu untuk memenuhi kebutuhan mendadak. Saya pusing lagi kena ‘apes’ (musibah)”, pintanya dengan suara lirih.
“Anak bojomu sehat semua kan, yen separo dioyotke njur awakmu meh mangan opo (kalo lahanmu disewakan separo, kamu mau makan apa)?”, komentar saya sambil menanyakan kesehatan anak istrinya.
”Dua anak saya terkena Pinjol (Pinjaman On-line) karena kalah nge-slot (judi online)”, terangnya dengan wajah memelas.
“Ya Allah, keno piro Cung (kena berapa)”, tanya saya menyelidik.
”Total 50 juta mas kaji”, jawabnya polos.
“Ya sing sabar Cung, anak polah bapak kepradah”, pinta saya ikut menasehati agar sabar.
“Kamu kan tahu, saya sudah lama tidak bertani padi setelah satu-satunya lahan sawah warisan orang tua terkena proyek jalan tol. Nanti saya carikan teman yang biasa ‘ngoyot’ sawah”, janji saya pada Kuncung.
Sepenggal cerita diatas adalah sebuah realitas sosial-ekonomi yang saat ini banyak menimpa anak-anak usia Sekolah Menengah di daerah kami. Sebuah kondisi “gegar budaya” atau “memar peradaban” yang banyak menyasar anak-anak sekolah (juga guru) akibat minimnya daya literasi pada era teknologi informasi. Beberapa waktu lalu, media nasional mewartakan banyaknya guru dan ASN yang terlilit Pinjol dan terjebak permainan judi on-line. Jika sudah begini kondisinya, lantas siapa yang harus disalahkan ?
Setahun lalu, ada berita memilukan di kecamatan Weleri. Seorang istri dengan tega dibunuh suaminya, lalu ia sendiri mati setelah gantung diri. Usut punya usut, penyebabnya sang suami terjerembab dalam hutang besar Pinjol akibat suka bermain slot dan kalah. Naudzubillah.
Judi togel, cap nji ki, dadu kopyok dan judi sabung ayam dapat terlihat mata. Dan sebenarnya aparat yang berwenang sangat mudah untuk menindak dan meniadakannya. Jawa Tengah pernah bersih dari perjudian ketika Kapoldanya Irjen Pol. Chaerul Rasyid. Syaratnya, asal ada niat dan kesungguhan dari pimpinan kepolisian untuk menindak tegas dan menghapus perjudian di tengah masyarakat.
Bagaimana dengan upaya menghilangkan perjudian on-line atau slot yang tidak kasat mata?. Sebab beragam perjudian pada hakekatnya merusak sendi dan tatanan ekonomi rakyat di tingkat bawah. Bukankah kondisi perekonomian suatu daerah sangat dipengaruhi oleh jumlah uang yang beredar di masyarakat. Bila setiap hari uang ratusan juta uang yang beredar di pedesaan banyak “ditarik ke kota” melalui perjudian yang terstruktur, sistematis dan massif, akibatnya kelesuan ekonomi pasti akan terjadi di tingkat bawah.
Dalam konteks membangkitkan ekonomi UMKM di pedesaan atau daerah, cost politik (uang saksi, honor penyelenggara pemilu ad-hock, APK) dan money politic (kepyur) yang banyak dikeluarkan para caleg pada pemilu 2024 –maaf, walau sesaat– masih memberikan keuntungan ekonomi bagi banyak pelaku UMKM lokal. Meskipun secara etika politik dan moral agama tidak dibenarkan, tapi setidaknya terlihat nyata manfaat ekonomi lokal pada H minus 1 hingga H plus 3 Pemilu 14 Februari 2024. Banyak penjual bakso, mie ayam, nasi goreng, warung makan dan toko kelontong di kecamatan Weleri dan kabupaten Kendal yang mendapatkan “qodaran” berupa kenaikan pendapatan cukup besar dan menutup warung lebih awal karena laris manis kehabisan produk yang dijual.
Sedangkan perjudian, apapun bentuk dan jenisnya, selain melanggar Undang-Undang dan Norma yang berlaku di Indonesia, juga menimbulkan side effect negatif bagi perekonomian rakyat. Disamping efek negatif lain yang berdampak pada kejiwaan atau psikologis, mentalitas, peradaban, serta menjamurnya budaya tidak jujur, instan dan nir keadilan sosial ekonomi. Teiring harapan semoga ke depan, perekonomian nasional mengalami pertumbuhan yang tinggi, kesenjangan ekonomi antar daerah dan wilayah semakin kecil, serta mendapatkan keberkahan ekonomi yang dilandasi nilai-nilai luhur Pancasila.
Judi (judi) menjanjikan kemenangan
Judi (judi) menjanjikan kekayaan
Bohong (bohong) kalaupun kau menang, itu awal dari kekalahan
Bohong (bohong) kalaupun kau kaya, itu awal dari kemiskinan
Judi (judi) meracuni kehidupan
Judi (judi) meracuni keimanan
Pasti (pasti) karena perjudian, orang malas dibuai harapan
Pasti (pasti) karena perjudian, perdukunan ramai menyesatkan
Yang beriman bisa jadi murtad, apalagi yang awam
Yang menang bisa menjadi jahat, apalagi yang kalah
Yang kaya bisa jadi melarat, apalagi yang miskin
Yang senang bisa jadi sengsara, apalagi yang susah
Uang judi najis tiada berkah….
Lirik lagu berjudul JUDI karya Rhoma Irama dalam genre dangdut koplo mengakhiri tulisan ini. Wallahu’alam
Pagersari : 23 Februari 2024