Oleh: Khafid Sirotudin
Jawa Tengah memiliki kekayaan kuliner eksotik yang beragam di setiap daerahnya, tak terkecuali Cepu, Blora. Salah satu hidangan khas yang sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia adalah opor ayam, yang sering menjadi sajian wajib saat lebaran Idul Fitri, biasanya disajikan dengan sambal goreng dan ketupat.
Setelah melaksanakan shalat Jumat dan Ashar dengan cara jamak qashar, saya bersama Ketua LP-UMKM Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Toni Firmansyah, dan beberapa peserta Business Matching UMKM di hotel Kyriad Arra Cepu, berkesempatan menikmati makan siang di Ngloram. Kami memilih untuk mencicipi opor ayam kampung di warung Pak Pangat, yang lokasinya tidak jauh dari Bandara Ngloram, Cepu, Blora.
Untuk bisa menikmati opor ayam di warung Pak Pangat, pemesanan harus dilakukan sehari sebelumnya. Warung ini sudah melegenda dan sering dikunjungi oleh banyak petinggi negeri, terlihat dari berbagai foto menteri, gubernur, bupati, dan pejabat negara yang pernah “ngiras” (makan di warung) di sini. Dengan bantuan Basyir, Ketua PD Pemuda Muhammadiyah Blora, kami memesan opor ayam khas Pak Pangat untuk 15 orang. Alhamdulillah, kami masih mendapatkan jatah untuk hari Jumat, 30 Agustus 2024, pukul 13.00 WIB.
Jangan berharap Anda bisa menikmati menu khas Cepu ini tanpa memesan sehari sebelumnya. Warung Pak Pangat hanya menyediakan 150 ekor ayam kampung setiap harinya, yang setara dengan sekitar 600 porsi opor ayam. Hidangan ini biasanya disajikan dengan lontong, meskipun nasi putih juga tersedia, tetapi kebanyakan tamu memilih lontong.
Kuah opor ayamnya kental dengan bumbu dapur Jawa dan rasa pedas yang pas. Bagi Anda penyuka pedas level 3 ke atas, disediakan cabe rawit utuh yang “kemrampul” (mengapung) dalam kuah opor yang disajikan dalam baskom kaca. Keistimewaan opor ayam Pak Pangat terletak pada kuahnya yang kental namun terasa ringan di lidah, mungkin karena dimasak dengan tungku kayu bakar dan api sedang-kecil, sehingga daging ayam kampungnya menjadi empuk dan bumbunya meresap sempurna.
Setelah menikmati hidangan lontong opor ayam kampung, kami sempat berfoto bersama Ibu Sutinah, istri Pak Pangat. Saya juga sempat menanyakan tentang angka “1912” yang terpahat di atas kusen pintu rumah kayu yang juga berfungsi sebagai warung. Menurut Ibu Sutinah, rumah kayu tersebut dibangun oleh orang tuanya pada tahun 1912, yang ternyata seusia dengan berdirinya Muhammadiyah.
Usaha warung opor ayam yang dirintis Pak Pangat sendiri baru berusia 27 tahun. Jadi, jika Anda ingin menikmati opor ayam kampung yang legendaris ini saat berkunjung ke Cepu, pastikan untuk memesannya sehari sebelumnya.