Oleh: Khafid Sirotudin – (Ketua LP-UMKM PWM Jateng 2023-2028)
Arkatama Birendra Rahardja (Abi), Kamis 16 Juli 2024 jam 08.00 WIB, sudah terlihat ganteng. Abi sengaja disematkan pakaian khusus untuk sesi pemotretan pagi ini. Sesuai janjian dengan teman bundanya, Widya, yang berprofesi sebagai Juru Foto Bayi (New Born Photography). Cucu kedua kami itu lahir pada hari Selasa 2 Juli 2024 di RSWN Kota Semarang, sehingga baru berumur 14 hari.
Sebagaimana dulu kakaknya, Arkadewi Laras Candraningtyas (Caca, 2 tahun 9 bulan) juga dilakukan pemotretan setelah acara aqiqah dan ”puputan” (putusnya tali pusar bayi). Sebagai anak kecil, Caca tak kalah sibuk menyiapkan diri untuk ikut dipotret bersama adiknya. Maklum, anak gen Z era jaman now yang biasa menonton aneka konten Youtube Kids. Pemotretan bayi idealnya dilakukan saat usia 5 hingga 14 hari.
Profesi jasa foto bayi sebenarnya telah ada cukup lama. Setidaknya saya pernah melihat foto-foto balita (bawah lima tahun) teman-teman bermain (kebanyakan warga Tionghoa) ketika seusia Sekolah Dasar dan Menengah. Sebuah peradaban dokumentasi yang barangkali waktu itu masih jarang dilakukan warga pribumi. Apalagi masih menggunakan kamera analog dengan klise film hitam putih maupun berwarna. Dimana untuk mencetak hasil pemotretan memerlukan tempat, peralatan dan teknik cetak yang memakan waktu.
Berbeda dengan era digital sekarang. Dalam hitungan detik hasil pemotretan bisa dengan cepat dilihat, diedit, dicetak dan dilakukan pemotretan ulang apabila hasilnya dirasa belum optimal. Bahkan jasa dokumentasi bayi saat ini, tidak hanya berupa foto atau gambar saja. Sudah berkembang dengan pembuatan video serta pemuatan konten kreatif di berbagai laman media sosial, terutama Instagram dan Tik-Tok.
Profesi “tukang foto” (photographer) bayi bersinergi dengan profesi “tukang shooting” video dan konten kreator. Sebuah profesi yang mulai berkembang sejak era 2000-an, sebagaimana profesi wedding photography maupun foto jurnalistik untuk keperluan media massa. Menjadi salah satu lahan bisnis bagi kalangan profesional berbasis ekonomi kreatif.
Untuk menjadi seorang profesional di bidang foto bayi, membutuhkan pendidikan dan pelatihan (formal dan non formal), keahlian dan ketrampilan khusus, fokus serta “jam pemotretan” yang cukup lama. Walaupun didukung dengan perlengkapan dan peralatan yang paling mutakhir dan canggih sekalipun, tidak menjamin dapat menghasilkan foto yang baik dan menarik. Sebab membuat foto, video, konten yang baik dan menarik sangat ditentukan oleh ilmu, ketrampilan, praktek dan laku profesional seseorang secara fokus dan berkelanjutan.
Saya teringat salah satu pelajaran penting dari Mentor Pelatihan Foto Jurnalistik yang dahulu pernah saya ikuti saat aktif di pers kampus FE Undip. Dimana salah satu karya foto mentor saya tersebut, pernah mendapatkan penghargaan internasional Lomba Foto Jurnalistik di Jepang. “Untuk mendapatkan 1 (satu) foto jurnalistik terbaik atas satu obyek, dibutuhkan setidaknya 2-3 roll film isi 36”, kata mentor saya. Silahkan pembaca bayangkan, untuk mendapatkan satu foto terbaik membutuhkan 72 hingga 108 kali pemotretan. Padahal pada waktu itu pemotretan masih menggunakan kamera analog, berbeda dengan era digital kekinian.
Pada era digital, kita bisa memotret sebanyak-banyaknya dengan fasilitas berbagai fitur pengaturan diafragma, resolusi, speed atau kecepatan lensa secara otomatis. Sesuai kebutuhan yang diinginkan tanpa khawatir filmnya “kobong” (terbakar), terlalu gelap atau terlalu terang. Beberapa merk, jenis dan tipe handphone saat ini telah dilengkapi beragam fitur fotografi dan videografi yang seakan-akan bisa menjadikan kita “ujug-ujug” (mendadak) serasa menjadi seorang fotografer profesional, meski faktanya masih amatiran.
Banyak jurnalis Media Online dan TV yang terbantu dengan kemajuan teknologi digital. Para wartawan sebagai kontributor lapangan dapat menggunakan HP yang makin ramping, simpel namun canggih dalam melaksanakan tugas peliputan. Tugas editting foto jurnalistik terbantu dengan beragam aplikasi yang tersedia. Tetapi sekali lagi, untuk menghasilkan foto yang terbaik membutuhkan ilmu, keahlian, ketrampilan serta praktek “jam terbang” yang tidak instan.
Kembali ke jasa pemotretan bayi yang marak di kota-kota besar, harga sekali sessi pemotretan di Semarang, berkisar antara Rp 500.000 hingga Rp 2 juta, sesuai persyaratan dan ketentuan yang berlaku. Artinya sejalan dengan tingkat profesionalitas, kualitas, kuantitas serta kerumitan yang dihadapi dan sesuai permintaan pelanggan. Apalagi jika konsumen meminta tambahan video atau dibuatkan konten kreatif untuk keperluan penayangan di media sosial.
Anda mau harga yang lebih murah? Gampang, caranya dengan meminta tolong kerabat atau teman yang berprofesi sebagai new born photographer. Atau mau gratis? Sangat bisa, dengan cara memotret menggunakan HP atau android milik sendiri. Soal hasilnya optimal, cukup baik atau tidak sesuai keinginan alias mengecewekan janganlah protes.
Harga suatu produk, barang dan jasa, sudah barang tentu berlaku hukum ekonomi yang cateris paribus. Harga tidak akan pernah menyelisihi hasil. Betapapun jasa foto bayi merupakan salah satu unit UMKM bidang ekonomi kreatif yang cukup menjanjikan pendapatan yang lumayan.
Wallahu’alam
Pagersari, 22 Juli 2024
*) Red. UKMMu.com