Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada Januari 2025 menuai kritik dari berbagai pihak, termasuk Muhammadiyah. Organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia ini meminta pemerintah untuk membatalkan kebijakan tersebut karena dianggap berpotensi memperburuk kondisi ekonomi, khususnya bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Kekhawatiran Muhammadiyah Terhadap Dampak Kenaikan PPN
Menurut pakar ekonomi Muhammadiyah, kebijakan kenaikan tarif PPN akan menambah beban pajak yang harus ditanggung oleh masyarakat, khususnya pelaku UMKM. Setelah menghadapi masa sulit akibat pandemi COVID-19, banyak UMKM yang baru mulai pulih dan membutuhkan dukungan, bukan tambahan beban fiskal. Peningkatan tarif PPN ini dikhawatirkan akan menyebabkan kenaikan harga barang dan jasa, sehingga menurunkan daya beli masyarakat serta mengurangi permintaan produk dari UMKM.
Kritik ini sejalan dengan pandangan para pelaku usaha yang menyebut kenaikan PPN sebagai langkah yang “mencekik” ekonomi rakyat. Sebagai sektor yang berkontribusi signifikan terhadap PDB Indonesia, UMKM memerlukan lingkungan usaha yang mendukung, termasuk kebijakan fiskal yang ramah. Sebaliknya, peningkatan PPN tanpa disertai insentif akan menyulitkan UMKM untuk bertahan, apalagi untuk berkembang.
Pengaruh Kenaikan PPN Terhadap Daya Beli dan Keberlangsungan UMKM
Berdasarkan data dari berbagai survei ekonomi, UMKM yang umumnya bergerak di sektor perdagangan dan jasa sangat rentan terhadap perubahan kebijakan fiskal seperti kenaikan pajak. Biaya produksi dan harga jual barang diprediksi akan naik akibat kebijakan ini. Sementara itu, daya beli masyarakat yang belum sepenuhnya pulih dapat semakin tertekan, menyebabkan penurunan permintaan.
Menurut data Kementerian Koperasi dan UKM, UMKM menyumbang lebih dari 60% terhadap produk domestik bruto (PDB) dan menyerap sekitar 97% tenaga kerja di Indonesia. Kenaikan PPN yang diterapkan tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi bisa memicu gelombang kebangkrutan di kalangan UMKM, mengingat banyak di antara mereka yang masih berjuang melunasi utang pasca-pandemi.
Muhammadiyah Mengusulkan Peninjauan Ulang Kebijakan
Menanggapi situasi ini, Muhammadiyah mengusulkan agar pemerintah meninjau ulang kebijakan kenaikan PPN dan mempertimbangkan alternatif lain yang lebih ramah terhadap UMKM. Muhammadiyah juga mengajak pemerintah untuk berdialog dengan DPR dan pelaku usaha guna mencari solusi terbaik yang dapat mendukung pemulihan ekonomi tanpa menambah beban fiskal yang berlebihan bagi rakyat kecil.
Beberapa pihak, termasuk anggota DPR dan pengusaha dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan untuk menunda atau bahkan membatalkan kenaikan PPN tersebut. Mereka berpendapat bahwa kenaikan tarif PPN harus disertai dengan kebijakan insentif yang memadai bagi UMKM, seperti subsidi bunga pinjaman atau bantuan pembiayaan untuk meringankan beban produksi.
Kenaikan tarif PPN menjadi 12% pada awal 2025 dianggap sebagai kebijakan yang dapat memperlambat pemulihan ekonomi, terutama bagi sektor UMKM yang rentan. Muhammadiyah, bersama dengan berbagai asosiasi pengusaha, mendesak pemerintah untuk membatalkan atau setidaknya menunda kebijakan ini demi menjaga keberlangsungan usaha kecil yang menjadi penopang utama perekonomian Indonesia. Pemerintah diharapkan bisa mengeluarkan kebijakan fiskal yang lebih mendukung pertumbuhan ekonomi, terutama dalam masa pemulihan pasca-pandemi. Dengan demikian, langkah ini diharapkan dapat memberikan ruang bagi UMKM untuk terus tumbuh dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi nasional tanpa menghadapi tambahan beban yang berat akibat kenaikan pajak.