Oleh: Khafid Sirotudin
Soto merupakan salah satu kuliner khas Indonesia yang memiliki banyak ragam sesuai daerah asalnya. Jenis-jenis soto ini biasanya menggunakan nama daerah sebagai identitas, seperti Soto Kudus, Soto Lamongan, Soto Padang, Soto Betawi, dan Soto Boyolali. Di Indonesia, terdapat lebih dari seratus jenis soto dengan nama yang bervariasi. Sebut saja Soto Banjar, Coto Makassar, Sroto Banyumas, dan Tauto Pekalongan. Soto berbeda dengan “soup” dalam bahasa Inggris, yang di Indonesia dikenal dengan nama “sup.”
Meskipun ada beberapa teori tentang asal usul soto, saya pribadi meyakini bahwa soto berasal dari Jawa Tengah. Hal ini terlihat dari penggunaan huruf “o” yang khas Jawa. Salah satu sumber literasi menyebutkan bahwa soto pertama kali muncul di Solo (Surakarta) pada abad ke-19 sebelum kemudian menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Ada juga yang berpendapat bahwa soto awalnya merupakan hidangan dari warga Tionghoa (imigran Tiongkok) di Jawa yang kemudian diadaptasi oleh masyarakat Indonesia dengan tambahan rempah-rempah khas lokal.
Dari pengamatan kami, soto telah menjadi hidangan rakyat yang fleksibel. Soto bisa disajikan sebagai sarapan, makan siang, hingga makan malam. Bahkan di beberapa kegiatan kampung, soto sering kali dijadikan suguhan utama. Misalnya, saat Rapat RT/RW, pengajian, tahlilan, walimahan, dan Merti Desa. Di wilayah Subosukawonosraten (Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen, dan Klaten), soto dan warung soto dapat ditemukan lebih banyak dibandingkan daerah lain di Jawa Tengah maupun Indonesia.
Soto, seperti halnya nasi goreng, telah menjadi salah satu warisan budaya pangan Indonesia. Soto sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Indonesia selama puluhan hingga ratusan tahun. Uniknya, soto di Indonesia memiliki beragam variasi dan jenis yang berbeda-beda di setiap daerah. Banyaknya variasi ini dipengaruhi oleh keanekaragaman bahan rempah-rempah yang disesuaikan dengan budaya pangan masing-masing daerah (local genius).
Meskipun terdapat banyak variasi, soto memiliki kesamaan utama, yaitu rasa gurih pada kuahnya. Kaldu yang gurih ini dihasilkan dari rebusan daging sapi atau ayam. Ada juga beberapa variasi soto yang menggunakan kaldu dari daging kerbau, jamur, atau bahkan babi. Salah satu warung soto babi yang pernah saya temui berada di Jalan Mayor Kusmanto, Sungkur Lor, Sekarsuli, Klaten Utara. Di sana, dengan jelas terpampang tulisan “Soto Babi” beserta gambar kepala babi di depan warung, sehingga konsumen yang tidak mengonsumsi babi dapat langsung mengetahuinya. Pelanggan utamanya adalah warga Tionghoa non-muslim.
Perlu diketahui bahwa bisnis kuliner, terutama soto, merupakan salah satu bisnis dengan margin keuntungan yang tinggi. Seorang teman saya, yang merupakan pengusaha kuliner, pernah mengatakan, “Ora ono dodolan pangan sik bathine ngalahke sego digebyur banyu.” Artinya, “Tidak ada bisnis kuliner yang keuntungannya bisa mengalahkan nasi disiram air, alias soto.”
Soto Hj. Romlani
Warung Soto Bhakti Rasa Hj. Romlani dikenal dengan kelezatan rasa dan kualitas yang konsisten. Warung ini menjadi salah satu pilihan terbaik bagi pecinta soto di daerahnya.