Rendy Saputra
Salah satu sebab mengapa saya belajar terntang zakat adalah ceramah ustadz Budi Ashari. Walau waktu itu topik ceramahnya bukan zakat, tetapi ustadz Budi sedikit nyerempet bahasan zakat, ketika bahas peradaban ekonomi Islam. Dan bahasannya menohok sekali.
“Hari ini banyak kreatifitas lembaga yang lepas dari kaidah ilmu, zakat jadi modal kerja, harusnya realisasi zakat itu habis untuk dikonsumsi.“
Kurang lebih kalimatnya seperti itu, yang mana waktu itu saya termasuk yang pro zakat produktif. Kan bagusan begitu ya, dana zakat tidak langsung habis, tetapi jadi modal kerja, memberdayakan. Maka saya agak mengernyitkan dahi ketika ustadz Budi menyampaikan demikian.
Walau saya waktu itu tidak setuju, tapi ada kaidah yang saya pegang : “saya bodoh, jika ada ahli ilmu yang pandangannya berbeda dengan saya, maka sayanya yang harus belajar, bukan ngotot atas pendapat pribadi.” Maka dimulailah pendalaman ilmu zakat sejak lima tahunan yang lalu. Karena video ceramah ustadz Budi banyak ke titik shiroh dan pendidikan di zaman kejayaan Islam, maka saya harus mencari video pengajaran terkait zakat. Alhamdulillah, bertemulah saya dengan video pengajaran zakat dari ustadz Ammi Nur Baits dan Dr. Erwandi, berseri-seri. Ditambah lagi interaksi singkat dengan Dr. Anang Rikza, Pengasuh Pondok Pesantren Tazakka, sehingga makin terstrukturlah pemahaman akan Zakat, Infaq dan Wakaf.
Dari hasil pendalaman ini akhirnya kita dapat menyimpulkan, dan konsep simpulan sederhana ini dari DR Anang Rikza :
• Zakat untuk kebutuhan dasar hidup, pastikan manusianya survive.
• Wakaf untuk infrastruktur : tanah, bangunan dan peralatannya.
• Sedangkan Infaq untuk operasional keberjalanan pelayanan pada ummat. Dana operasi manusia dalam menjalankan infrastruktur pelayanan.
Supir ambulance-nya dari dana zakat. Mobil
ambulancenya akad wakaf. Bensin-nya akad infaq. Kurang lebih demikian.
Dari kesemua ahli ilmu ini, akhirnya fikiran dan batin saya terpuaskan secara pemahaman, bahwa Zakat itu memang untuk habis dikonsumsi. Kaidah awal zakat ya seperti itu. Sehingga tidak untuk modal kerja, tidak untuk bangunan, apalagi beli peralatan, yang kesemua itu harusnya dari jalur akad diluar akad zakat.
Membantu orang susah dengan menyediakan dana kebutuhan hidupnya, memberi makan, ‘ngasih’ pakaian, membantu biaya sewa rumah agar bisa tetap bernaung. Seakan-akan proses ini memanjakan.
Kita sering dengar, “Jangan kasih ikannya, kasih pancingnya” dan ini yang sering kita pegang ketika kita ingin membantu orang lain. Kayaknya bagus, kayaknya benar, tetapi Allah yang menciptakan kehidupan ini tentu lebih tahu apa yang terbaik bagi manusia.
Saya dulu juga berfikir demikian, sampai kemudian saya mendalami topik kemiskinan setelah saya belajar zakat. Dari pengajaran ulama ahli ilmu Syar’i, saya nyeberang ke pengajaran di TED tentang tema pemberdayaan. Bertemulah saya dengan video pengajaran Rutger Bregman, seorang ahli sejarah dari Belanda, tetapi saya lebih merasakan kedalaman narasinya sebagai sosiolog.
Rutger Bregmen membangun narasi tentang “fatalnya kita memahami kemiskinan”. Bagi kita hari ini, seringnya memahami kemiskinan sebagai output dari karakter.
Karena malas jadi miskin. Karena bodoh jadi miskin. Karena gagal kompetisi jadi miskin.
Padahal menurut om Rutger, kemiskinan terjadi karena mereka “kekurangan cash”, mereka tidak tersupport kebutuhan hidup dasarnya, mereka tidak tersupport “Basic Needs”-nya. Setelah membaca narasi ini, saran saya kawan- kawan menyimak pemaparan Rutger Bregman, di aplikasi TED tampa ada teks Indonesianya, namun di youtube subs-nya English. Nontonlah, paksakan diri Anda memahaminya. Kebaikan hikmah itu Hak Muslim yang tercecer, walau keluar dari lisan non muslim.
Lapar Menjadikan Berfikir Tidak Waras
Om Rutger kemudian menyampaikan dengan data ilmiah, bahwa kemiskinan terjadi karena orang- orang miskin kekurangan cash untuk sekedar bisa makan, untuk sekedar bisa bertempat tinggal, maka keputusannya selalu “keputusan bodoh” karena “lapar”.
Seseorang yang ‘kepepet’ dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, akan memiliki RAM memory berfikir yang sempit. Kita mungkin pernah dengar rider ojeg online yang ngider pakai gojeg seharian, dapatnya 50 ribu doang, tetapi malah main judi slot. Begitu mereka diwawancara, mereka bilang : “Ini kalau dapat, bisa 2 juta bawa balik ke rumah, kalo 50 ribu dibawa pulang, gak cukup.”
Padahal kemungkinan dapat 2 juta sangat kecil, tapi orang yang lapar tidak akan bisa faham tentang probabilitas statistika. Tidak akan. Sebab RAM berfikirnya tidak sampai kesana.
Saya pernah ketemu anak muda yang mendatangi saya di masjid, mengaku terjerat pinjol, dengan total hutang kejaran sampai Ratusan Juta Rupiah, karena dalam tiga tahun terakhir hidup dari pinjol ke pinjol untuk makan.
Saya trajectory semua lembaga pinjolnya, dan betapa kagetnya saya melihat nominal awal dia hutang pinjol, hanya 4 juta Rupiah. Tapi kemudian membayar hutang sebelumnya dengan hutangan aplikasi baru. Tembus ratusan juta. Fakta.
Mengapa ada seseorang yang sampai berani ambil hutang bunga hampir 100% dalam tiga bulan? Bahkan 1 bulan? Ya karena mereka LAPAR. Lapar yang melewati ambang batas itu merusak otak, merusak ketenangan hati, membuat orang gak bisa berfikir jernih. Maka kefakiran itu dekat pada kekafiran. Kaidah dalil itu, True.
Lapar dan kepepet bertahan hidup, membuat seseorang berfikir tidak waras.
Disinilah Rutger pro pada Settlement Fee, dana subsidi pemerintah untuk warga negara, agar mereka bisa hidup di dasar kebutuhan hidupnya. Dan ini nampaknya berlaku sampai sekarang di Australia.
Citizen warga negara Aussie yang sudah diatas 17 tahun, mendapatkan tunjangan dari negara untuk hidup standard, bisa makan, dan bisa nyewa flat. Ini data waktu saya dakwah ke Perth dan Melbourne. Wallahualam apakah tunjangan seperti ini masih ada atau tidak.
Om Rutger kemudian menyampaikan data ilmiah negara yang awalnya menerapkan subsidi “basic income needs”, lalu mencabutnya. Pertumbuhan angka kemiskinan dan variabel ekonomi lainnya jadi jauh berbeda.
Menjamin “basic income needs”, walau istilah ini ngetrend di negara penganut sosialis, namun ternyata ini konsep Syariat Islam. Syariat Islam ini membebankan kepada ekosistem kaum muslimin, “bahwa tidak boleh ada kaum muslimin yang lapar, tidak boleh ada yang tidak bisa bernaung punya hunian, tidak boleh ada yang terbatas mengakses pendidikan dan kesehatan.” Itulah syariat, dan zakat beroperasi ke hal ini.
Kita sering dengar program pemberdayaan. Orang miskin dikasih ternak, disuruh beternak sapi, kambing, cashflownya nunggu Iedul Adha. Akhirnya kambing dan sapinya dijual. Mengapa? Karena mereka lapar. Disuruh nunggu cashflow tahunan, padahal laparnya sekarang.
Ibu-ibu nasyarakat miskin kota diajari bikin kue, dikasih terigu, dikasih oven. Ya terigunya dijual, oven-nya dijual, untuk beli beras. Karena masih lapar. Makanan hari ini tidak tersolusikan, tapi kita malah kasih oven plus terigu. Gagal faham syariat memang kita terkadang.
Saya bincang dengan Abi Heru Duta Quran. Beliau mengasuh ribuan guru ngaji di Indonesia, beliau juga mengasuh hampir 2 ribu santri di Pondok Ar-Rasyid. Sama juga simpulannya, datang ke pondok tidak langsung bantu basic needs, tapi malah kasih domba, ternak. Bagus kalau santrinya siap kelola, tapi fatalnya, ustadz-nya malah sibuk ngurusin ternaknya, bukan ngurusin santrinya. Kompetensinya belum tentu ada. Program produktif bagus, tapi lihat-lihat dulu, apakah basic income pondoknya sudah tercover atau belum. Disitu sensitifnya.
Maka inilah kaidah zakat. Dana zakat itu operasikan dulu ke kebutuhan dasar manusia. Bukan maksud memanjakan, tetapi ini untuk memberdayakan manusia. Agar mereka bisa berfikir, berkembang, tidak bingung untuk makan. Kreativitas itu hadir jika urusan mendasar sudah selesai.
Lihatlah model gerakan membagi beras ke pondok- pondok tahfidz, apakah hal itu memanjakan? Apakah pondoknya jadi malah hancur karena malas? Nggak kejadian imajinasi kita itu, tidak sama sekali. Dengan support beras, maka kiyai pengasuh akan berfikir lebih tenang. Karena di pondok pesantren dhuafa itu, yang darurat itu kebutuhan Makan.
Cobalah turun ke lapangan, ngobrol sama kiyai pondok. Yang lain bisa ditunda, tapi kalau untuk makan seratus santri dhuafa lebih, itu gak bisa ditunda. Tak jarang kiyai pondok harus ngutang ke toko beras. Asli ini cerita.
Dengan adanya beras, kiyai pengasuh pondok jadi tenang. Akhirnya bisa mikir bertambak lele, bisa mikir pengembangan, bisa mikir kreatifitas lainnya. Waktu beras tidak ada supply, hari- hari otaknya habis mikirin beras.
Data Lapangan
Lagi ya, kita ambil data-data valid lapangan saja. Coba deh cari Masjid di Indonesia ini yang ngasih jamaah makan 3 kali sehari. Dicari, ada kok, kalau sampai gak ketemu, kudet banget. Saya PR-in, cari sampai dapat.
Bukan cuma sarapan, bukan cuma makan malam, bukan cuma ifthor Senin Kamis. Gak main-main, tiga kali sehari. Coba cari.
Kalau sudah ketemu masjidnya, datang ke sana, lihat jamaahnya, ngobrol sama jamaahnya, apa perbedaannya, ketika masjid belum ada, dan masjid makan- makan ada. Tanya jamaahnya langsung, jadi gak nerka-nerka.
Saya lihat sendiri, jamaah yang awalnya terlihat tidak seger, kurus-kurus, mulai berisi. Anak-anak yang kayaknya kurang asupan, mendadak seger-seger, kulitnya bersih-bersih.
Dan karena masjid sudah menyediakan makan sampai tiga kali sehari, maka masyarakat senang belajar Quran, senang mendengarkan ilmu, kalau ada masalah di rumah tangga, cerita ke ustadz-ustadz di masjid. Soliditas dan kekuatan berkomunitas jadi terbentuk.
Jadi gak ada itu ngasih ikan, terus jadi manja dan hancur. Sebenarnya gak begitu yang terjadi. Terus jangan sok pinter “ngasih pancing”, kalau butuh ikannya sekarang. Apa harus mancing dulu dia? Kalau tiga hari mancing tidak dapat ikan gimana? Repot bener sih bantu orang.
Nah, urusan mengapa terkadang kita membantu orang miskin secara langsung, terus tidak ada perubahan. Bisa jadi :
Pertama, karena kita ngasihnya gak konsisten.
Siapa orang kaya yang konsisten bantu orang lain diluar hubungan saudara, yang jumlah nominalnya tetap, selama dua tiga tahun? Ya hampir jarang.
Kedua, bantuan dari personal, bukan dari lembaga, izzahnya beda.
Kalau bantuan dari personal, penerima manfaat tidak ada tanggung jawab untuk bertumbuh. Tetapi kalau yang membantu lembaga seperti masjid, maka ummat akan tunduk pada program masjid. “Udah dikasih makan euy, masak gak taklim”, ada begitu- begitunya.
Maka saya cocok dengan SIDAQ-nya Kiyai Een Adi Pratama Larisindo, Gerakan Surgakan Indonesia dengan Al-Quran. Kalimat Kiyai Een yang sering saya dengar kalau mau support orang,
“Jadi berape kebutuhan dasar antum, berape kamek harus support?”
Kalimat itu yang sering saya dengar, ketika Kiyai Een berhadapan dengan mitra dakwah SIDAQ : para guru ngaji, penggerak dakwah. Yang disolusikan adalah kebutuhan hidup dasarnya dulu, baru setelah itu bicara khidmat lebih ke dakwah.
Kemiskinan Struktural
Kemiskinan yang terjadi di negeri kita ini dominan struktural, kemiskinan struktural.
Orang miskin melahirkan anak yang kembali menjadi miskin. Karena terbatasnya akses gizi, terbatasnya akses pendidikan, terbatasnya akses kesehatan.
Disinilah peran dana zakat. Support makannya, support biaya pendidikannya, support kebutuhan hidup mendasarnya. Agar pemberdayaan itu terjadi. Walau lahir dari keluarga miskin, tetapi kesempatannya jadi sama, jadi equal. Inilah social engineering. Kasih makan dulu, back up dulu.
Kembali ke gagasan awal, tidak semua orang fit to market, baik market bisnis produk barang dan jasa, maupun market tenaga kerja. Kita fair saja, data statistik orang mulai bisnis, 98% gagal kok, dalam 5 tahun. Statistik itu. Jadi jangan paksakan orang ber entrepreneur juga. Jangan naif, yang fit to market 2% dari yang nyoba. Tidak semuanya bisa.
Okelah kita ke pasar tenaga kerja, yang terserap jadi tenaga kerja saja masih miskin, apalagi yang pengangguran. Lihatlah struktur UMR kita, karena saya cukup mendalami syariat tentang kaidah “golongan miskin”. Gaji 5 juta sebulan itu bisa miskin lho, tergantung beban hidup dasarnya dia berapa. Tiap orang beda jumlah anak, tiap area pemukiman beda indeks ekonominya. Jadi 5 juta per bulan di sebuah tempat tertentu itu bisa saja tergolong miskin.
Narasi yang saya tulis ini bertujuan, agar kita lapang dengan syariat. Sebenarnya tanpa alasan ilmiah pun, harusnya penggunaan zakat ini tidak perlu kita gugat. Lihatlah QS At-Taubah ayat 60, semua operasi zakat ke manusia kok, jelas itu.
Jadi jangan berat kalau membantu kebutuhan dasar orang, jangan berat hatimu kalau uangmu digunakan untuk memberi makan orang terus. Ya memang begitu syariatnya. Kasih makan terus, sampai RAM berfikirnya tumbuh sendiri. Tidak ada manusia yang menikmati dibantu terus, gak ada kok, beneran. Kalau mereka sudah ‘settle’, pasti nanti berdaya sendiri.
Begitu ya…
Walaupun saya faham ini ikhtilaf juga. Saya dapat referensi dari guru saya DR. Ahmad Jalaludin, bahwa unta zakat pernah dipinjam sahabat Nabi, dan Nabi Saw. pernah ijinkan. Penggalan kisah ini dijadikan pijakan kawan-kawan amil untuk menjadikan dana zakat itu jadi modal kerja, hmm….
Kalau ada akad wakaf produktif, pakai akad wakaf produktif saja. Aman. Itu simpulan kami.
Zakat untuk makan faqir miskin, biar tenang. Biar bisa mikir waras. Beneran ini.
Zakat untuk sewakan rumah faqir miskin, biar mereka ada tempat hunian. Kalau tidur aja masuk angin, sakit-sakitan, mau berdaya darimana? Mau dilatih pelatihan entrepreneurship 100 modul, kalau tidur di emperan ya gak mudeng juga.
Zakat untuk back-up kebutuhan hidup fii sabilillah, para juru dakwah yang tidak memungkinkan berbalas benefit dengan obyek dakwah, yang tidak mungkin ‘diamplopin’ pendengarnya. Mereka yang mengajar orang-orang susah, mereka yang mendakwahkan Islam ke pedalaman. Mereka yang ngurusin santri yatim dan faqir miskin.
Zakat untuk menjaga ekosistem kaum muslimin, agar semua kaum muslimin bisa hidup cukup, kesitulah zakat diniatkan.
Kemiskinan bukan karena karakter, kemiskinan terjadi karena orang miskin tidak punya biaya kehidupan dasar.
MasyaAllah Tabarakallah.
*) Sumber: https://www.facebook.com/share/VixF4NBWsEQnb4WZ/?mibextid=oFDknk