Oleh: M Fikri Al Hakim (Kab. Batang)
Pendidikan Tinggi berkembang cukup pesat untuk terus melahirkan para sarjana-sarjana yang siap untuk Kembali kemasyarakat bukan? Mereka adalah orang berpendidikan yang dibebani amanah dengan pengetahuan yang mendalam dalam berbagai bidang. Kata “Sarjana” barasal dari sansekerta kuno yakni “sravaka”. Hingga berkembang pada masa kekaisaran Hindu-Budhha menjadi istilah “sarjana”.
Darmadi dalam bukunya Perkembangan Sejarah Pendidikan Tinggi di Indonesia, ia menuliskan arti sarjana di Nusantara lebih terkait dalam berbagai bidang keilmuan. Semakin berjalannya waktu memiliki makna yang luas. Awal mulai terikat dengan pendidikan tinggi bermula pada masa penjajahan Belanda. Untuk merujuk mereka-mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tinggi di akademik.
Justru semakin banyaknya lulusan Sarjana akan membangun Sumber Daya Manusia yang lebih unggul. Apalagi kalian sudah tidak asing lagi dengan kata “Menuju Indonesia Emas 2045” yang sudah banyak digaungkan. Menengok jumlah lulusan Sarjana yang semakin tahun meningkat tidak menutup kemungkinan akan terwujudnya Indonesia Emas.
Menurut data statistik pendidikan tinggi Indonesia, tertulis lulusan Sarjana memiliki jumlah yang banyak sekitar 1.819.360 orang. Sedangkan lulusan Diploma mengikuti jumlah kedua terbanyak yakni 305.108 orang. Menjadi secercah harapan kemajuan SDM Negeri Pertiwi ini.
Apakah kita patut berbangga? Tidak sedikit mereka yang sampai detik ini masih meratapi Nasib gara-gara tidak ada panggilan kerja, meski telah kesana kemari memasukan lamaran pekerjaan. Menurut hasil survei dari Willis Towers Watson, sejak 2014 hingga 2022 8/10 perusahaan di Indonesia kesulitan mendapatkan lulusan perguruan tinggi dalam negeri siap pakai.
Berdasarkan data Februari 2023 dari Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat masih ada 7,99 juta pengangguran di Indonesia didominasi oleh lulusan sarjana dan diploma sekitar 12 persen dari total keseluruhan.
Sebenarnya kualitas mana yang akan dikejar oleh pendidikan tinggi sekarang ini? Untuk menyiapkan mereka untuk menjadi pekerja diperusahaan atau memang ingin melahirkan pemikir-pemikir hebat? Justru sekarang ini Perguruan Tinggi terjabak dalam persoalan nilai atau sebuah angka yang dapat mengafirmasikan bahwa kalian adalah pintar, pantas untuk lulus, dan berkualitas.
Persoalan ini tidak lepas dari rekam jejak Indonesia di PISA. Mulai tahun 2003 ketika diumumkan Indonesia menjadi negara dengan pendidikan terburuk, mendapatkan peringkat ke-38 dari 40 negara yang ikut serta. Dengan skor siswa pada sains, membaca dan matematika yang rendah dalam kesadarannya.
PISA adalah studi internasional tentang prestasi literasi membaca, matematika, dan sains siswa. Penelitian yang dilakukan oleh Indah Pratiwi, Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Nyatanya memiliki pengaruh yang signifikan dalam iklim kebijakan pendidikan di Indonesia berubah seiring dengan rilisnya PISA setiap tiga tahun.
Dari Numerik inilah PISA menilai pendidikan Indonesia buruk, maka perubahan itu perlu dilakukan secara jangka panjang. Meskipun kenyataannya yang dipakai adalah cara cepat dengan menaikan angka menjadi istilah “obral nilai”. Bisa saja nilai sudah menjadi tonggak utama tujuan adanya bersekolah untuk mendapatkan nilai bukan pemahaman.
Waktu masih adanya UN tidak sedikit mereka yang menuliskan keresahan mengenai pelaksaannya yang penuh dengan praktik kecurangan. Nahasnya dimontori oleh guru sekolah yang memberikan kunci jawaban bagi seluruh siswa. Reputasi sekolah menjadi lebih penting ketimbang yang lain. Sebab PISA inilah akhirnya standar nilai UN menjadi tinggi-tinggi. Hal itu tidak memungkiri, demi menunjukan Indonesia itu tidak terlihat bodoh dengan memperlihatkan nilai yang tinggi-tinggi dan merata.
Sama halnya terjadi dalam dunia perkuliahan, bagi mereka meraih gelar cum laude semakin mudah. Di UGM tahun 2024 mencapai 63%, berbanding terbalik di tahun 2014, hanya 37,7% mahasiswa yang mendapatkan predikat cum laude. Nilai IPK 3,6 di Indonesia sekarang sangat miris untuk mencerminkan mereka adalah seorang sarjana. Melihat angka presentasi masih membaca membuat tulisan lebih sibuk copy paste.
IPK besar tidak lepas dari takaran PISA sebelumnya. Cara Universitas untuk bersaing mendapatkan akreditasi yang baik, maka lulusannya haris diperbanyak mendapatkan cum laude. Demi akreditasi mereka rela untuk melakukan obralan gelar demi akreditasi. Kembali ke awal apakah kualitas Sarjana sekarang ini menjadi korban dari sistem hingga menimbulkan tidak sedikit pengangguran.
Mahasiswa bepikir praktis tidak lepas dari latar pendidikan mereka sebelumnya adalah kebiasaan yang merusak dengan budaya semua ingin instan. Dan bimbel menjanjikan itu untuk menunjukan proses berpikir yang instan dan mudah. Kemudian timbulah cara cerdas untuk membodohkan diri sendiri. Contoh lagi perguruan tinggi ataupun sekolah yang memilih menerima peserta didik yang berprestasi, ketimbang bekerjakeras untuk melakukan pengembangan, yang penting tempat pendidikan ini menjadi favorit.
Kampus akan berprestasi dengan diisi pleh orang-orang yang sudah cerdas terlebih dahulu secara kemampuan. Contohnya adalah Ujian masuk kampus ada 3 seleksi SNBP adalah 20% setiap kampusnya, SNBT minimal 40%, seleksi mandiri maksimal 30%. Sudah pasti mereka akan berbondong-bondong memilih kampus favorit dan mereka yang tidak pintar secara numerik, akan berkumpul ditempat lain.
Jalan instan kampus untuk menaikan pamor cukup mudah, mereka sudah mendapatkan Mahasiswa pintar yang telah terseleksi dalam 3 jalur. Cukup mudah bukan buat kampus untuk berprestasi? Prakteknya mereka adalah para Mahasiswa yang telah lulus dengan kenamaan besar kampus akan lebih mudah untuk mencari pekerjaan. Atau istilahnya link senior alumni kampus tersebut.
Apalagi Kemendikbudristek menggolongkan beberapa kampus dengan lulusan cepat dapat kerja berdasarkan data-data dari tiap-tiap kampus. Hasil survei LinkedIn mengungkapkan bahwa pada tahun 2016 perusahaan merekrut tenaga kerja yang sudah mempunyai koneksi. Punya Link dulu dan nama kampus menjadi salah satu nilai penting untuk menyingkirkan pesaing.
Inilah yang pada akhirnya generasi para Sarjana Ketika sudah lulus sekolah menciptakan praktek yang sama. Ali Muthohirin adalah eks ketum DPP Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Ia memiliki koneksi ke partai, tidak menutup kemungkinan, hal yang tengah ramai diperbincangkan anak-anak IMM, tentang sikap petinggi organisasi yang terlihat mesra dengan partai.
Cukup bersikap baik dihadapan partai dengan membawa salam dan pasukan yang banyak, sudah dapat meyakinkan untuk masuk tergabung dalam partai. Sangat instan bukan untuk jadi politikus? Atau mereka telah berjuang selama ini dalam organisasi untuk membuat pamor agar dilirik oleh elit politik? Sudah sangat jelas mereka yang memiliki Amanah sebagai pemangku jabatan tentu yang dilihat organisasinya.
Masuk dunia politik menjadi salah satu alternatif karya instan, namun perlu diingat anak muda yang menjadi pengurus partai politik pun bisa dihitung. Mereka tidak bisa masuk lingkaran kekuasaan karena partai politik masih dikuasai para elite. Tidak menjamin untuk jenjang karir kecuali kerelaan kaum tua untuk memberikan tempat.
Assalamualakum mas Kaesang saya siap bawa pasukan untuk menjadi petinggi elit, ribuan Mahasiswa Muhammadiyah telah sepakat akan mendukung partai ini menjadi wadah untuk IMM. Sebagai bentuk perpolitikan yang instan berkedok jual organisasi mahasiswa yang seharusnya lebih netral dan JANGAN TERLALU PRAKTIS!.
Uraian diatas mengerucut antara serba ingin instan dan problem pengangguran sarjana. Sudah sangat jelas pengangguran terjadi karena nyatanya angka numerik tidak menjamin kesuksesan. Masih banyak Perusahaan yang menolak lulusan sarjana, bahkan membludaknya PNS menjadi masalah juga. Dengan mahasiswa yang secara data statistic cenderung lebih memilih studi jurusan 22,45% berbeda dengan kebutuhan dilapangan.