Oleh : Khafid Sirotudin
Seorang chef khusus sedang menyiapkan masakan sea food istimewa pada sebuah restoran di Jepang. Tempatnya memasak hanya berjarak 1-1,5 meter dari meja makan. Sambil menikmati minuman white-tea dan kudapan pembuka, pengunjung dapat mengobrol santai dan leluasa menyaksikan dari dekat proses memasak ikan fugu (pufferfish, buntal).
Langkah pertama, sang koki mengambil ikan buntal (Weleri : bluntak) hidup dari akuarium. Satu per satu ikan dieksekusi sambil mengambil racun tetrodotoxin yang terdapat di beberapa bagian tubuh ikan, serta meniriskan di sebuah wadah khusus menampung racun tersebut. Empat ekor ikan buntal yang sudah dibersihkan dari racun kemudian dimasak menjadi beberapa hidangan sea food sesuai pesanan pelanggan. Semua proses memasak terlihat kasat mata dan jelas.
Tibalah waktunya master chef menghidangkan masakan mewah itu. Eit…tunggu dulu, sabar sebentar jangan buru-buru memakannya. Chef mengambil sedikit potongan masakan yang telah “dipinto” (disiapkan) di pinggir piring saji dan memakannya di depan pelanggan. Setelah sepuluh menit tidak nampak kejadian keracunan pada chef, barulah kita bisa menikmati sajian ikan fugu.
Mengapa begitu rumit prosedur ketat itu dilakukan?. Sebab racun tetrodotoxin yang dikandung ikan buntal lebih dahsyat 100 kali dari racun sianida dan sangat mematikan. Racun tetrodotoxin mampu melumpuhkan otot-otot, sementara korban tetap sadar sepenuhnya. Kemudian dalam waktu 5-10 menit korban mengalami sesak nafas dan akhirnya meninggal dunia.
Di Jepang, hanya chef yang memiliki kualifikasi selama 4 tahun tanpa korban dan bersertifikasi khusus yang diperbolehkan memasak ikan fugu di restoran. Sebagai hidangan mewah, harga ikan fugu/buntal per ekor sebesar 120 Dollar AS (Rp 1,7 sd 1,9 juta) atau US$ 235 (Rp 3,5 sd 3,7 juta) per kilogram. Hidangan ikan fugu atau buntal merupakan hidangan sea food termahal di Jepang. Sebanding dengan keahlian chef khusus yang diijinkan untuk memasaknya dan “toh nyowo” (bertaruh nyawa).
Meskipun menyaksikan semua proses memasak ikan buntal secara aman dan bergizi tinggi, tetapi saya tidak berani menikmatinya. Saya lebih memilih ikan salmon dan sedikit mencicipi “oseng-oseng” ubur-ubur (jellyfish). Sebagai tamu, kami menghargai penghormatan jamuan makan malam yang telah diberikan Deputi Perdana Menteri, Menteri Pertanian dan Asosiasi Eksportir Apel Fuji Jepang. Apalagi mereka semua mengetahui jika saya seorang muslim yang haram memakan daging babi dan meminum arak Jepang (sake).
Saya teringat pernah beberapa kali mendapatkan ikan bluntak ketika memancing ikan di pantai Sendang Sikucing maupun Tawang Laut, Gempolsewu, Rowosari Kendal. Ketika mendapatkan ikan buntal, biasanya ikan dibiarkan beberapa menit di tanah pasir. Dalam waktu 1-2 menit tubuh ikan akan menggelembung sambil bersuara..pek..pek..pek lantas mati. Untuk melepas pancing di mulutnya, digunakan tang atau catut untuk mengapit duri-duri beracun di tubuhnya. Tang atau catut adalah peralatan standar bagi pemancing ikan di laut.
Berdasarkan referensi ilmu perikanan dan kelautan, gelembung tubuh ikan buntal memiliki banyak manfaat, diantaranya mengandung kolagen, protein yang mampu menjaga kulit, daya tahan tubuh dan berguna untuk menguatkan tulang, sendi, otot dan gigi. Tetapi sebagai orang awam, kami takut dengan racun yang dimilikinya. Filipina adalah salah satu negara yang tegas melarang konsumsi ikan buntal ini.
Tingkat konsumsi ikan per kapita Indonesia berada di peringkat 11 dunia (2021). Jauh di bawah negara Islandia, Maladewa, Portugal, China dan Jepang, serta dibawah negara ASEAN seperti Vietnam, Myanmar dan Malaysia. Padahal Indonesia menduduki peringkat kedua dunia sebagai negara produsen ikan terbesar (78,8 juta ton, tahun 2020). Melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 tahun 2014, diperingati untuk pertama kalinya pada tanggal 21 November 2014 sebagai Hari Ikan Nasional. Sejak saat itu, setiap tanggal 14 November diperingati sebagai Hari Ikan Nasional.
Melalui peringatan Hari Ikan Nasional diharapkan masyarakat Indonesia semakin menggemari ikan sebagai asupan pangan protein hewani, Selain jumlahnya berlimpah juga harganya relatif lebih murah dan stabil dibandingkan harga pangan protein hewani dari unggas (telur, daging ayam dan sebagainya) serta hewan berkaki empat “rojokoyo” ruminansia (kambing, domba, sapi, kerbau) dan non ruminansia (kuda, keledai, babi). Kita pun mengetahui jika dua per tiga wilayah Indonesia merupakan lautan yang memiliki potensi perikanan yang sangat luar biasa besar.
Sebagaimana lagu anak-anak yang pernah diajarkan guru ketika belajar di bangku Sekolah Dasar. Lagu berjudul “Nenek Moyangku” yang diciptakan Ibu Sud, nama lengkapnya Saridjah Niung, pada tahun 1940 itu menjadi semacam “lagu wajib” bagi siswa SD jaman “semonow” (jaman dulu). Entah di jaman now, masihkah lagu itu diajarkan. Lirik lagunya sebagai berikut :
Nenek moyangku orang pelaut,
Gemar mengarung luas samudera,
Menerjang ombak tiada takut,
Menempuh badai sudah biasa.
Angin bertiup layar terkembang,
Ombak berdebar di tepi pantai,
Pemuda b’rani bangkit sekarang,
Ke laut kita beramai-ramai.
Pagersari, 6 Januari 2025.