Khafid Sirotudin
Dua pekan lalu, kami sempat berkunjung ke Batang mampir silaturahmi ke salah satu saudara. Entah awalnya bagaimana sampailah cerita pada usaha jualan minuman teh yang marak di berbagai kota di Indonesia setahun terakhir.
Nunuk, begitu panggilan akrabnya, seorang barista yang sudah belasan tahun bekerja secara profesional di bidangnya. Lewat bantuan dia, kami membuka kedai kopi dan teh 8 tahun lalu. Dia yang mengajari, melatih dan menilai produk minuman yang kami sajikan di Tritisan Coffee and Tea Weleri. Sebuah usaha kecil keluarga kelas kampung, yang barangkali belum mampu memberi keuntungan lebih, apalagi membuat kaya, tetapi bisa “nguripi” (menghidupi) 4 orang pekerja dan sedikit mengurangi angka pengangguran.
Sebagaimana karakter usaha mikro dan kecil pada umumnya, yang terpenting pemilik bisa numpang makan dan minum setiap hari. Agar jasmani sehat dan tidak “nglangut” (melamun) dengan situasi dan kondisi perekonomian yang sedang tidak baik-baik saja. Berusaha mensyukuri setiap rejeki yang diberikan Tuhan kepada semua makhluk-Nya.
Maraknya usaha jualan minuman teh ala pedagang kaki lima (PKL) di berbagai kota, setidaknya mengisyaratkan beberapa hal. Pertama, masih belum optimalnya jumlah pekerja yang terserap di sektor formal. Sebagai side effect negatif akibat pandemi Covid-19 melanda Indonesia selama 2 tahun, yang berdampak dahsyat dengan PHK besar-besaran pekerja di sektor formal dan industri. Kedua, urusan kebutuhan pangan (mamin : makanan dan minuman) bagi keluarga tidak dapat ditunda lama. Sebagaimana pepatah mengatakan : “perut kenyang pikiran tenang, perut lapar imanpun bisa terkapar”.
Ketiga, mandiri serta tidak membutuhkan modal dan investasi yang mahal. Sejak krisis moneter 1998 hingga pandemi Covid-19 lalu, sektor UMKM terbukti menjadi “Pahlawan Ekonomi” bagi bangkitnya perekonomian nasional pasca resesi dan pandemi. Jawa Tengah yang memiliki 1,45 unit UMKM menjadi wilayah yang mempunyai pertumbuhan ekonomi cukup tinggi pasca resesi dan pandemi, disamping masih adanya angka pengangguran yang meningkat akibat PHK dan lambannya sektor industri besar bangkit. Salah satu usaha yang mudah, murah dan bisa dikerjakan dari rumah adalah usaha mikro bidang pangan, kuliner atau mamin. Sebab dapat dilakukan oleh para ibu yang sudah terbiasa menyiapkan mamin bagi keluarga, serta dapat memanfaatkan berbagai peralatan memasak yang sudah ada di rumah.
Teh Jayengan
Saya tertarik dengan usaha mikro jualan “ndeswang” (Prokem Batang : minuman) teh yang sudah dijalankan Nunuk selama 1 tahun lebih ini. Ada sentuhan ekonomi kreatif yang menjadi pembeda Teh Jayengan dibandingkan ratusan out-let sejenis yang sempat kami jumpai di Weleri dan berbagai daerah lain. Menunjukkan bahwa sang pemilik memiliki pengalaman cukup lama sebagai barista yang handal. Bahan baku, nama atau brand, packaging dan taste menunjukkan “kelas tersendiri” meskipun harga relatif sama murahnya dengan produk sejenis. Semua bahan baku, brand, packaging dan taste buatan Indonesia. sultan69
Nama “Jayengan” disematkan, mengambil nama tempat dan peralatan untuk membuat minuman teh oleh para “Jayeng” (barista pembuat minuman teh) di lingkungan budaya Jawa, khususnya kalangan priyayi dan bangsawan Jawa jaman dahulu. Saya menduga Teh Jayengan lahir untuk menghadirkan produk minuman teh selera “pejabat” harga “merakyat”. Setidaknya bisa saya lihat dari daftar menu dan harga “seplastik” es teh manis Rp 2.000 maupun harga termahal 1 cup “es teh susu aneka rasa” sebesar Rp 10.000 per pack.
Saat ini Teh Jayengan memiliki 5 outlet, 4 outlet di Batang dan 1 di kota Pekalongan, dengan mempekerjakan 10 orang (2 orang produksi, 8 orang penjaga outlet). Jika saja omzet per outlet Rp 300.000 hingga Rp 700.000 per hari, maka omzet kelima outletnya sebesar Rp 45 juta sampai Rp 75 juta-an per bulan. Sebuah angka yang terlihat kecil apabila dibandingkan dengan omzet sektor industri mamin kelas menengah dan besar. Namun tingkat kemanfaatan dan keuntungannya terasa sangat besar, manakala dibandingkan dengan usaha restoran atau cafe yang membutuhkan investasi dan modal ratusan juta bahkan milyaran rupiah.
Produk minuman berbasis teh di dalam negeri, masih kalah pamor dibandingkan beragam minuman berbasis teh dari perusahaan waralaba luar negeri : Thailand, China dan Jepang. Padahal kita tahu, Indonesia adalah negara penghasil teh terbesar ke-7 di dunia, dibawah China, India, Kenya, Srilanka, Vietnam dan Turki, serta diatas Myanmar dan Thailand. Sedangkan Jawa Tengah menjadi penghasil teh terbesar kedua di Indonesia, dibawah Jawa Barat dan diatas Jambi dan Jawa Timur.
Apa yang dilakukan oleh Teh Jayengan dan usaha sejenis di berbagai kota besar dan kecil di Indonesia, setidaknya menunjukkan adanya jiwa nasionalisme yang tinggi dalam mewujudkan kemandirian pangan khususnya minuman berbasis teh. Atau dalam bahasa gaul anak muda sekarang : sekali-kali minum teh agar bisa menikmati hidup yang kadangkala terasa “sepet”, bukan hanya manis, pahit atau tawar semata.
“Niki mas rokoknya kagem panjenengan (ini mas rokoknya untuk anda)”, kata Nunuk sambil memberikan sebungkus rokok Dji-Sam-Soe kepada saya.
“Maturnuwun, ‘hamite lombo’ wis akeh po kiye (Terimakasih, duitnya teman sudah banyak sekarang)”, jawab saya.
“Alhamdulillah saiki ‘nyonge’ wis sugih (Alhamdulillah sekarang saya sudah kaya)”, jawab Nunuk sambil tersenyum.
Kamipun ngobrol sejam lebih bertiga ditemani Teh Jayengan tawar hangat kesukaan saya di salah satu out-letnya.
Ternyata menjadi “kaya” itu sederhana. Ketika kita merasa cukup dengan rejeki yang diberikan Tuhan melalui usaha mikro yang mampu memenuhi kebutuhan pokok keluarga, bisa “nguripi” (menghidupi) dengan memberi pekerjaan kepada sesama, serta memiliki jiwa “nasionalisme pangan” yang cukup. Pembaca tertarik untuk membuka usaha Teh Jayengan di daerah anda, silakan menghubungi langsung nomor WA 0858-7557-9000 sebagaimana tertera pada foto/gambar yang saya sertakan.
Wallahu’alam
Weleri, 30 Oktober 2023
*) Pemerhati pangan, Ketua LP-UMKM PWM Jateng