Khafid Sirotudin
Alkisah pada tahun 2006, mobil honda stream kami mengalami keluhan suara “glodhak-glodhak” saat dikendarai di jalan kurang mulus. Perasaan bagian shockbreaker depan mau lepas. Stir juga terasa “ndredhek” saat kecepatan diatas 100 km/jam. Selain tidak nyaman, saya pun khawatir jika tiba-tiba ban depan lepas.
Kami bawa ke bengkel resmi Honda Semarang untuk membetulkan ‘onderstel’ (Belanda : casis), bagian bawah atau kaki-kaki mobil, sekaligus tune-up mesin.
Pada perjalanan pulang, saya coba kendarai mobil cukup kencang. Tatkala jarum speedo meter menyentuh angka 100 km per jam, getaran stir masih terasa. Keesokan harinya, mobil saya kembalikan ke bengkel resmi Honda. Hitung-itung masih gratis, ada jaminan pasca service selama sepekan.
Selesai perawatan kedua, saya ajak supervisor bengkel untuk ikut test drive melewati jalanan sepi dan lapang. Lagi-lagi getaran stir masih terjadi tatkala kecepatan 100 km/jam. Akhirnya supervisor bilang : ”Pak mohon maaf, nanti pas istirahat siang saya antar ke Bengkel spesial onderstel. Sebab kemampuan peralatan di bengkel kami hanya bisa mengatasi pada kecepatan maksimal 100 km/jam”. Sayapun mengiyakan saran tersebut.
Saya diantar ke bengkel di Jalan Karangwulan sebelah utara kantor Jamu Djago Semarang. Melihat sekilas penampakan bengkel tanpa nama, hanya terlihat genset dan seperangkat tabung las karbit, serta almari berisi peralatan setinggi meja. Warga Semarang mengenal bengkel itu dengan sebutan “Brojol”. Terlihat mobil Honda Civic keluaran terbaru dengan posisi didongkrak dan 2 ban depan dilepas. Jujur perasaan saya antar ragu dan penuh tanda tanya : ”Apa betul bengkel spesial onderstel mobil penampakannya begini?”.
Setelah supervisor menyampaikan keluhan mobil saya, mekanik dan owner bengkel yang kemudian saya kenal bernama Brojol Bejo, menyapa, “ayo pak dijajal mubeng, sampeyan sik nyetir (ayo pak dicoba dikendarai mengitari lokasi, anda yang menyetir)”, pintanya. Brojol duduk disamping saya, sambil mendengarkan seksama suara “glodhak-glodhak” ketika menyusuri beberapa jalan kurang mulus atau bergelombang. Kami sekalian mengantarkan supervisor kembali ke bengkel resmi honda.
Tiba-tiba dia mengatakan, “iki rack steer positif njaluk (minta) ganti. Tapi sesuk isone nggarap (hari besok bisanya mengerjakan) pak, saiki ora nyadhak wektune (kalau sekarang tidak cukup waktunya)”.
Rack steer merupakan komponen yang berguna untuk menghubungkan kaki-kaki mobil dengan bagian kemudi. Kemudian sayapun tanya :”Sesuk sak ligo kas ngamu teko methe (Besok jam berapa mas aku sampai sini)”. Diapun menjawab sambil turun dari mobil, “jam songo pak ben sore dadi (jam sembilan biar sore jadi).
Singkat cerita keesokan hari, saya antar mobil jam 09.00 dan dikerjakan. Saya perhatikan bagaimana dia bekerja dibantu seorang pekerja sebagai “kenek montir”-nya. Setelah menurunkan seperangkat rack steer, dia bilang : “iki tukokke ning toko onderdil kono pak, njaluk sik asli, ojo nang bengkel resmi honda, regane kacek mayan (ini tlg dibelikan di toko onderdil sana pak–sambil menyebut nama toko–minta yang asli, jangan di bengkel resmi honda, harga terpaut lumayan)”, terangnya sambil menyerahkan tulisan di secarik kertas. Sayapun dijemput dan diantar sopir kantor ke toko inderdil yang dimaksud. Membeli rack-steer, mur- baut, serta beberapa perlengkapan lain sebagaimana tulisan dia.
Setelah menyerahkan semua barang yang diminta, saya tanya :
”Jam berapa selesai mas?”.
“Jam loro (14.00) pak”, jawabnya.
Sayapun pamit untuk balik kantor. Dan sesuai janjinya, jam 14.00 saya keluar kantor untuk mendatangi bengkel. Terlihat mobil sudah jadi, tapi ternyata belum sempurna.
“Iki gari spooring pak, digowo nang bengkel sik kene utowo sik kono. Liyane 2 kuwi aku rak njamin dadi apik (Ini tinggal spooring, tolong dibawa ke bengkel yang disitu atau disana. Selain 2 bengkel itu saya tidak jamin menjadi bagus)”, pintanya sambil menyerahkan kertas coretan tangan berisi posisi milimeter spooring.
Kamipun menuju bengkel spooring balancing yang dimaksud, saya serahkan coretan kertas itu. Mekanik bengkel spooring bilang : ”Kalau ada tulisan dari Brojol, mekanik disini hanya bisa manut mengerjakan sesuai permintaan, meski kami biasa kerjakan dengan mesin spooring elektrik. Presisi mesin kalah dengan pengalaman dan ketelitian yang sudah puluhan tahun”.
Iseng-iseng saya tanya : “Sudah berapa lama kerjasama dengan Brojol koh?”.
Dia menjawab, ”Dah lama pak, Lima belas tahunan lebih”.
Saya menjadi ingat ucapan supervisor bengkel resmi honda kemarin waktu mengantar, “jangan kaget kalau melihat orang dan bengkelnya. Kelihatannya “ora mitayani” (tidak meyakinkan), biayanya relatif lebih mahal, tetapi saya jamin bapak puas hasilnya”.
Setelah selesai mobil dispooring saya kembali ke bengkel guna menyelesaikan biaya perbaikan onderstel mobil. ”Berapa mas biayanya?”, tanya saya.
“Patangatus ribon (Rp 400 ribu)”, jawab dia sambil udut nglepus, lantas melanjutkan ucapan :
“kene modhe wenehi dhong jayus jemet dhis, sisane gampang (sini kamu kasih Rp 250 ribu dulu, sisanya gampang)”. Diapun menyampaikan jaminan sebulan, jika belum beres diminta membawa kembali ke bengkel dan gratis bila terjadi kerusakan yang sama. Tetapi sehari setelahnya, saya minta bantuan sopir kantor untuk melunasi kekurangannya. Bukankah Nabi saw. pernah bersabda : “Bayarlah upah buruhmu sebelum keringatnya kering”.
Betul-betul saya puas mengendarai mobil pada kecepatan 120-140 km/jam dengan kondisi stir mobil sangat stabil walau ada beberapa saat, tangan sengaja saya lepaskan dari stir mobil. Sejak saat itu jika ada keluhan onderstel atau kaki-kaki mobil milik pribadi, saudara atau teman saya sarankan ke Bengkel Brojol. Entah sudah berapa puluh —bahkan mungkin ratusan mobil— milik pribadi, kantor, perusahaan teman telah saya rekomendasikan ke sana hingga sekarang. Dari berbagai respon dan feed-back dari orang yang saya rekomendasikan, mereka rata-rata merasa puas dan kembali lagi ke bengkel Brojol jika menemui masalah onderstel mobil.
Pindah Alamat
Untuk kesekian kalinya, Jumat 26 April 2024, saya mengunjungi Bengkel Brojol guna memperbaiki onderstel mobil suzuki ertiga. Sudah disiapkan dari rumah dua buah shockbreaker depan untuk siap-siap jika harus ganti. Bengkel Brojol sekarang sudah pindah lokasi di jalan Karanganyar No. 6, dekat SMA Kolese Loyola Semarang. Tempatnya lebih lebar, tetapi tetap bertahan sebagai “bengkel kaki-lima” di bawah pohon asam dan angsana yang teduh dengan terpal membentang. Bedanya sudah ada ‘nama bengkel’ yang tertulis di bahan MMT tertempel pada genset dan dibentangkan di depan gudang peralatan di bawah pohon.
”Kabare mas Brojol”, sapa saya.
“alkamdulillah sehat pak Kapit, kosong-kosong ya pak mumpung isih bakdo (mohon maaf lahir batin pak mumpung masih lebaran)”, jawabnya sambil mengulurkan tangan kanan.
”Sama-sama Jol”, balas saya. ”Ayo dicoba dulu, saya yang nyetir”.
Setelah mengitari beberapa ruas jalan sekitar bengkel, kami kembali ke lokasi bengkel.
Sekarang Brojol ditemani 2 pekerja dan 2 anaknya, yaitu Aldo dan adiknya. Sehingga dalam sehari bisa mengerjakan 3 mobil sekaligus. Dia pantang menerima pekerjaan jika sehari mobil tidak selesai diperbaiki.
“Yen wingi mrene malah ora biso ngerjani pak, wis kebak garapan (jika kemarin kesini, malahan tidak bisa mengerjakan, sudah penuh)”, terangnya.
Setelah memberi instruksi, Aldo dan seorang pekerja mulai melepas ban velg dan mendongkrak mobil saya. Sambil duduk di kursi bawah pohon, kami ngobrol menanyakan kabar keluarga.
”Putumu wis piro Jol (Cucumu sudah berapa)”, tanya saya membuka obrolan.
“Wis loro pak, anake Aldo (Sudah 2 cucu, anaknya Aldo)”, jawabnya.
“Sampeyan wis duwe putu piro pak (anda sudah punya cucu berapa)”, tanyanya.
”Alhamdulillah sudah 1, mau 2 cucu”, jawab saya, lalu bertanya : ”modhe dhis repeg yumu thoker karo ngokce gam kas (kamu masih senang beli ‘nomer’ dan ‘minum’ tidak mas)”.
“Wis prei pak, wis tuwo mikir nggo nukokke jajan anak putu (Sudah tidak, sudah tua –64 tahun– memikirkan untuk beli jajan anak cucu)”, jawabnya jujur dengan raut muka polos apa adanya.
”Ya syukurlah kalau sudah sadar”, komentar saya.
Setelah melihat, memegang dan mengamati rack-steer yang sudah dilepas-turunkan, Brojol bilang :
”Pak minta uang 3,5 juta untuk beli rack-steer, mur baut dan perlengkapan lain yang dibutuhkan. Biar nanti dibelikan Aldo ke toko langganan”.
”Aku tidak membawa uang sebanyak itu, bisa transfer tidak”, kata saya.
“Bisa pak”, kata Brojol sambil meminta Aldo memberikan nomor rekening.
Sudah kemajuan sekarang, –pikir saya dalam batin–, setelah transfer e-banking.
”Aku meh Jum’atan disik, kowe meh titep donga opo ngaso melu nyusul (Saya mau Jum’atan dulu, kamu mau ‘titip doa’ apa mau istirahat menyusul)”, tanya saya sambil siap-siap mau menuju masjid Baiturrohim Gabahan Semarang Tengah. Saya musti berjalan kaki 200 meter lewat gang kecil sebelah timur bengkel.
”Aku titip doa saja, sementara absen dulu pak”, jawabnya sambil tersenyum.
Selesai shalat Jum’at, saya kembali ke bengkel. Sudah terlihat rack-steer yang baru yang dibeli beserta beberapa barang yang dibutuhkan.
”Jam berapa bengkel tutup?”, tanya saya sambil mengambil tas dari dalam mobil.
“Jam lima sore pak. Nanti dikabari kalau sudah jadi, sekalian saya ganti shock breaker dan spooring”, jawab Brojol.
Sayapun meninggalkan bengkel setelah teman koh Hardi menjemput ngajak nongki dan ngopi di Boskaf Coffee Roasters jalan Suyudi.
Hujan rintik mulai turun dan terlihat di luar cafe, pukul 16.15 WIB. Kami berdua kembali menuju bengkel untuk mengambil mobil. Brojol duduk sendirian di bawah terpal dekat mobil saya.
”Wis rampung kabeh Jol (Sudah selesai semua Jol)”, tanya saya.
“Beres pak, shockbreaker sik siji parah, sijine wis ngabani. Wis tak ganti kabeh (Sudah beres, shockbreaker yang satu parah, satunya juga sudah rusak. Sudah saya ganti semua)”, kata Brojol sambil menyerahkan kunci mobil dan nota biaya perbaikan. “Gowo wae pak, mengko gampang transfer anakku mbayare (bawa saja pak, nanti tinggal transfer ke anakku bayar biayanya)”.
”Ya sudah, maturnuwun”, jawab saya sambil salaman pamit pulang.
Bengkel Brojol hanyalah salah satu potret Usaha Kecil produk Jasa Perbengkelan Mobil yang ada di kota Semarang. Saya yakin masih banyak ribuan pelaku UMKM Jasa berbagai Bengkel untuk mobil, sepeda motor dan sepeda yang ada di Jawa Tengah. Hampir setiap kecamatan ada jasa perbengkelan sepeda motor atau mobil “padat karya” dengan berbagai jenis pelayanan.
Mereka dipaksa untuk mampu ‘survive’ dan ‘berani bersaing’ dengan berbagai bengkel resmi nan modern, yang makin banyak berdiri di kota besar dan kota kecil. Mungkinkah setiap tahun, semua lulusan SMK jurusan perbengkelan otomotif dan sepeda motor bisa diserap menjadi pekerja formal oleh industri otomotif atau industri jasa yang “padat modal” ?
Wallahu’alam
Semarang, 26 April 2024