Oleh : Khafid Sirotudin
Sejak merdeka 17 Agustus 1945, Indonesia pernah tercatat mengalami kondisi resesi ekonomi sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 1963, 1998 dan 2020/2021. Ketiga krisis ekonomi tersebut dipicu penyebab yang berbeda serta dengan dampak yang berbeda pula. Resesi ekonomi pertama tahun 1963 dipicu oleh hiper inflasi. Dimana kondisi ekonomi dan politik Indonesia dikucilkan dari dunia internasional karena sikap pemerintah yang konfrontatif, seperti keluar dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Ekonomi hancur disebabkan inflasi melambung tinggi hingga 119%, PDB (Produk Domestik Bruto) terkoreksi menjadi 2,24%, pengeluaran rumah tangga terkontraksi 3,95%, ekspor impor menyusut menjadi 26,58% dan investasi mengalami kontraksi sebesar 23,69%. Boleh dikatakan semua indikator makro ekonomi Indonesia ambyar. Perekonomian Indonesia membaik setelah tragedi politik kelam Gestapu/Gestok 1965 berlalu. Selanjutnya melonjak pada tahun 1970-an dan 1980-an pada masa Orde Baru yang berhasil menjaga stabilitas politik dan keamanan, serta mencapai pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Resesi 1998 dipicu oleh krisis keuangan Asia yang bermula dari Thailand yang meninggalkan kebijakan nilai tukar tetapnya (fixed exchange rate) terhadap Dolar Amerika Serikat pada Juli 1997. Kebijakan tersebut membuat banyak perusahaan menjadi gagal bayar, disebabkan nilai mata uang Baht yang melemah. Kemudian krisis menjalar ke negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Krisis menjatuhkan nilai tukar Rupiah dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.900 per Dolar AS. Krisis moneter akhirnya menjalar ke krisis politik dan sosial sehingga Orde Baru jatuh. Kekuasaan Presiden Soeharto yang telah berlangsung 32 tahun runtuh dan digantikan oleh BJ. Habibie.
Habibie tidak hanya piawai mendesain pesawat terbang, namun mahir melihat secara cermat kondisi ekonomi Indonesia pasca krisis moneter 1998. Meski kepemimpinannya singkat, hanya 1 tahun 5 bulan, BJ. Habibie mampu mengangkat nilai tukar Rupiah dari Rp 16.000 menjadi Rp 6.500 terhadap Dolar AS. Mata uang Rupiah menguat 34% dari Rp 16.800 (level terlemah sepanjang sejarah pada 1 Juni 1998) menjadi Rp 7.385 per Dolar AS.
Paket restrukturisasi perbankan pada 21 Agustus 1998 cukup efektif untuk membangun kembali perbankan yang sehat. Lewat kebijakan ini, beberapa bank dimerger menjadi bank baru yang kuat dari sisi pendanaan. Salah satu hasilnya adalah Bank Mandiri. Pemerintahan Habibie juga mengambil keputusan besar memisahkan Bank Indonesia (BI) dari Pemerintah. Dengan kebijakan pemisahan itu, BI menjelma menjadi lembaga independen yang cepat mendapatkan lagi kepercayaan publik.
Habibie mampu meyakinkan pasar global sekaligus menjinakkan tekanan atas Rupiah meskipun tanpa dukungan intervensi BI yang pada waktu itu belum memiliki kewenangan mengintervensi stabilisasi Rupiah. Baru setelah berlakunya UU nomor 23 tahun 1999 tentang BI yang ditanda tangani Habibie, Gubernur BI memiliki wewenang mengintervensi Rupiah. Dalam catatan pasar uang, Rupiah pernah menguat 34,1% dari Rp 11.200 (20 Mei 1999) menjadi Rp 7.385 per Dolar AS. Bahkan sempat menyentuh level terkuatnya sepanjang sejarah setelah krisis ekonomi 1997, yakni Rp 6.550 per Dolas AS (28 Juni 1999). Sebuah kebijakan yang sangat baik dan tidak akan pernah terlupakan.
Sejenak kita menengok kejadian pada Sidang Istimewa MPR, tanggal 14 Oktober 1999. Pada saat Presiden Habibie memasuki ruang sidang yang dipimpin oleh Ketua MPR RI Amien Rais. Menjadi kelaziman protokoler apabila seorang Presiden memasuki ruangan maka seluruh hadirin menyambutnya dengan berdiri. Tetapi pada waktu itu, pemirsa televisi se antero negeri menjadi saksi, bagaimana kejadian setelah selangkah kaki Habibie memasuki ruangan sidang.
Tiba-tiba bergemuruh suara Huuu…huuu berkepanjangan bahkan ada yang menimpali teriakan ejekan dari beberapa gelintir anggota sidang. Berbagai cemoohan itu baru berhenti setelah Habibie menempati kursi tempat duduknya. Tidak cukup sampai di situ. Hinaan dan cemoohan berlanjut hingga Habibie berdiri di podium menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban sebagai Presiden selama satu jam. Pidatonya bahkan sempat diinterupsi berulang kali dengan suara gaduh dan teriakan yang tidak ditegur sekali pun oleh pimpinan sidang.
Puncaknya adalah pada penghujung Sidang Istimewa MPR tanggal 20 Oktober 1999. Palu sidang yang diketok Ketua MPR menyatakan secara bulat penolakan terhadap Laporan Pertanggungjawaban Presiden Habibie. Maknanya Habibie dianggap tidak becus mengemban amanat sebagai Presiden serta mengabaikan kerja kerasnya dalam usaha memulihkan ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi 1998 yang mengakhiri kepemimpinan Presiden Soeharto selama 32 tahun.
Bagi Habibie, setahun lebih menjadi Presiden tidak pernah lepas dari cemoohan dan hujatan. Namun tatkala kerja kerasnya memulihkan ekonomi Indonesia yang ambruk kembali bangkit, membuka kran kebebasan pers dan kehidupan demokrasi yang lebih baik dicampakkan sebagai hal yang tidak bernilai, tidak mampu menutupi kesedihan hatinya. Maka di malam hari setelah MPR menolak LPJ-nya, Habibie menyampaikan pidato yang secara tersirat pamitan dari hiruk pikuk dunia politik kekuasaan di Indonesia.
Ketika beberapa pejabat negara dan pemerintahan begitu sulit melepaskan diri dari post power sindrom ingin berkuasa kembali, Habibie justru tak bergeming untuk tampil kembali. Beliau lebih memilih menjadi Guru Bangsa dan teladan abadi, kendati para politisi di negeri ini pernah mencaci maki dan menghina. Sepeninggal ibu Ainun, beliau masih tetap berkontribusi dengan begitu banyak sumbangsih ilmu dan teknologi. Melalui Habibie Center, masih mengalir sedekah jariyahnya dengan memberikan banyak beasiswa untuk membantu ratusan anak bangsa meraih cita-citanya hingga sekarang.
Betapapun sejarah mengajarkan bahwa lepasnya Timor Timur pada tanggal 30 Agustus 1999 melalui Referendum dibawah perjanjian yang disponsori PBB bukanlah kesalahan Habibie semata. Timor Timur menjadi negara merdeka Timor Leste pada 20 Mei 2002, hanyalah sebuah titik pisah dari sebuah pergulatan politik yang panjang setelah diresmikan menjadi Provinsi ke-27 NKRI pada tanggal 17 Juli 1976. Setelah sebelumnya pada tahun 1975, sejumlah tokoh Timur Portugis meminta bantuan Pemerintah Indonesia untuk pemulihan keamanan ketertiban umum di wilayahnya.
Resesi ekonomi ketiga Indonesia dialami pada tahun 2020/2021. Resesi ekonomi ini disebabkan oleh krisis kesehatan yang bermula dari menyebarnya virus Covid-19 dari Wuhan China. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global pada 13 Maret 2020. Indonesia mau tidak mau menerapkan pembatasan aktivitas masyarakat dan aktivitas ekonomi pada saat itu. Walhasil, PDB Nasional terkontraksi selama 4 kuartal yaitu kuartal II tahun 2020 hingga kuartal I tahun 2021.
Perekonomian Indonesia terjun bebas pada kuartal I-2020 sebesar 5,32% (year on year/yoy). Lalu mengecil pada kuartal III-2020 sebesar 3,49% (yoy), kuartal IV sebesar 2,17% (yoy). Ekonomi Indonesia baru bangkit pada kuartal II-2021 dengan pertumbuhan sebesar 7,07%. Absennya aktivitas ekonomi saat itu membuat angka pengangguran dan kemiskinan mencapai 27,55 juta orang pada September 2020, naik sebanyak 2,76 juta orang dibandingkan September 2019 sebelum pandemi.
Tingkat kemiskinan juga melonjak 10,19% menyentuh double digit yang pertama sejak September 2017. Jumlah pengangguran tercatat 9,77 juta orang pada Agustus 2020 atau naik 2,67 juta dalam setahun. BPS mencatat akibat pandemi sebanyak 1,77 juta orang tidak bekerja untuk sementara waktu dan sebanyak 24,03 juta orang bekerja dengan pengurangan jam kerja.
Penyelenggaraan Pemilukada di Jateng yang digelar serentak pada 9 Desember 2020 dengan menerapkan protokoler kesehatan ketat di tengah krisis, setidaknya menunjukkan tiga indikator keberhasilan aktivitas terbatas di tengah pandemi. Pertama, tingkat partisipasi pemilih yang tinggi diatas 70% bahkan ada kabupaten lebih dari 75% dan 78%, jauh diatas tingkat partisipasi Pilgub Jateng 2018 saat kondisi normal. Kedua, Pemilukada berjalan relatif aman. Dari 21 Kota Kabupaten hanya ada 2 sengketa hasil Pilkada dibawa ke meja MK, Rembang dan Purworejo.
Ketiga, tiadanya cluster Covid-19 Pilkada menunjukkan pelaksanaan Pilkada menerapkan secara ketat penegakan Prokes. Pada awalnya saya termasuk orang yang mengusulkan Pilkada serentak diundur setelah masa pandemi selesai. Ternyata ada hikmah kesehatan dan ekonomi bagi daerah, yaitu masuknya arus uang ke daerah melalui berbagai biaya politik, antara lain : pembuatan APK (Alat Peraga Kampanye) yang menghidupi UKM percetakan, digital printing dan APK lainnya (kaos, payung dan mercandise lainnya); honor penyelenggara pemilu ad-hock di tingkat Kecamatan, Desa/Kelurahan dan TPS seiring penambahan jumlah TPS serta pengurangan jumlah pemilih setiap TPS.
Hikmah lainnya, bahwa kesehatan menjadi syarat mutlak untuk berjalannya berbagai aktivitas ekonomi dan sosial di masyarakat. Krisis kesehatan dapat menyebabkan krisis ekonomi dan sosial. Kesehatan bukanlah segalanya, namun tanpa kesehatan segalanya bukanlah apa-apa.
Kepemimpinan dalam sebuah perusahaan, bisnis, pemerintahan dan masyarakat diuji dari kemampuan seseorang melewati berbagai hambatan dan rintangan yang menghalangi. Tidak terkecuali saat pandemi Covid-19 melanda.
Alhamdulillah Indonesia berhasil melewati krisis ekonomi yang disebabkan krisis kesehatan pandemi Covid-19. Dan sejarah telah membuktikan sektor UMKM adalah pelaku paling awal yang dapat memulai recovery economy di berbagai daerah dengan berjualan aneka produk pangan, herbal, kuliner, sandang dan beragam produk ekonomi kreatif yang inovatif. Last but not least, bahwa virus “wahn” (mencintai dunia berlebihan dan takut mati) yang setiap saat dapat memapar manusia, jauh lebih berbahaya dampaknya bagi ekonomi, kesehatan, sosial dan lingkungan daripada virus Covid-19 dari Wuhan China.
Wallahu’alam
_Pagersari, 13 Desember 2024_